Pada upaya pengembangan inovasi sebagai kemampuan berdaya saing didalam kompetisi, maka terdapat prasyarat penting dalam penggunaan inovasi pada sebuah organisasi.
Sesuai dengan teori klasik Schumpeter tentang makna dasarnya inovasi yang diartikan sebagai daya dorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi melalui upaya pengenalan teknik, cara, metode terbaru dalam peningkatan output dan produktifitas.
Melalui perspektif tersebut, result inovasi nantinya adalah berupa relasi atas dampak yang ditimbulkan secara ekonomi, sehingga sebuah inovasi memiliki nilai komersial bagi konsumen.
Pada titik inilah, inovasi menjadi perpaduan dari kepentingan inovator yang tiada lain diartikan sebagai entrepreneur oleh Schumpeter. Pengembangan inovasi dan lingkungan yang menstimulasi lahirnya inovator memerlukan prasyarat akan ruang kebebasan.
Entrepreneur sebagai karakter jelas mengadopsi berbagai nilai prinsip, salah satunya absorpsi resiko, karena penciptaan nilai baru yang bisa dieskalasi secara ekonomis membutuhkan biaya riset yang tidak sedikit, dan tetap memiliki potensi untuk gagal dipasar.
Hal itu membuat seorang wirausahawan memiliki kemampuan pengelolaan resiko, lebih dari sekedar berani mengambil resiko, dimana resiko tertimbang atas suatu aktifitas harus disertai dengan berbagai skema back up plan sebagai langkah mitigasi atas probabilitas kegagalan.
Intrapreneur pada Organisasi
Melalui organisasi ditingkat yang rendah, maka perilaku one man show memudahkan pengambilan resiko dalam sebuah keputusan untuk melakukan inovasi yang dipandang perlu bagi pengembangan bisnis.
Leader pada organisasi sederhana tentu saja sang pemilik usaha, kemampuan pencermatan atas pasar dan pengembangan produk yang akan dilepas kepada konsumen membutuhkan intuisi dan knowledge kepemimpinan dikenal sebagai spirit entrepreneur.
Lalu apa yang terjadi pada sebuah organisasi besar tingkat lanjut, yang tidak hanya luas dalam struktur organisasi karena melibatkan banyak pihak dan pola kepemilikan usaha yang terbuka melalui opsi share publik?.
Pada organisasi berjenis terakhir tersebut, maka stagnasi seringkali terjadi dibanding inovasi karena faktor berlapisnya kewenangan approval, namun demikian masih terdapat potensi pengembangan inovasi lebih jauh.