Beberapa hari lalu, saya kebetulan mendapatkan undangan untuk menghadiri acara sosialisasi provider BPJS Kesehatan, maklum profesi saya masih terkait sebagai officer bidang pengembangan usaha disalah sebuah rumah sakit dipinggir Jakarta, maka jadilah saya ditugaskan untuk hadir diacara tersebut. Maklum tahun depan direncanakan institusi rumah sakit tempat saya bernaung akan mulai menjajaki kerjasama dengan BPJS Kesehatan, maka itu penting untuk sekali lagi menegaskan pola kerjasama yang dibangun agar tidak menyesal kemudian.
Sesungguhnya tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa, dalam kerangka legalitas aturan undang-undang yang berlaku untuk memaksa rumah sakit swasta terlibat dalam jejaring BPJS Kesehatan, namun 2015 telah ditetapkan bahwa seluruh BUMN dan perusahaan swasta wajib untuk bergabung dengan BPJS Kesehatan. Ibarat kata, “Anda tidak harus makan ikan asin, tetapi semua menu hidangan yang tersedia hanya ikan asin”, jadilah kita mau tidak mau akhirnya memakan apa yang ada bukan?.
Secara pribadi, saya memandang program BPJS Kesehatan adalah ideal program yang akan membutuhkan resources besar, dan ketika hal itu dibebankan pada anggaran negara, khususnya Peserta Bantuan Iuran –warga berkategori miskin, maka skema dalam pola pembiayaan yang dilakukan harus mampu memberikan perlindungan secara layak bagi kemanusiaan pada sisi pasien, disisi lain harus pula mempertimbangkan bahwa skema tersebut juga harus layak bagi pemberi pelayanan, bukan semata tentang objek penerima layanan.
Seminar atau workshop ini pun ganjil, menimbang aturan tentang pertemuan dihotel, kali ini kegiatan itu berlangsung disebuah hotel nan mewah dibilangan lapangan banteng Jakarta. Hmm.. saya tidak hendak tanya kenapa, tapi kok ya spirit-nya efisiensi tidak sampai, padahal BPJS Kesehatan mendorong efisiensi pemberi layanan kesehatan agar bisa masuk dalam batas tarif bawah yang telah dipatok.
Problem utamanya, BPJS Kesehatan tidak memandang rumah sakit berdasarkan kepemilikan, sehingga perlakuan rumah sakit negeri dan swasta sifatnya jadi hantam kromo, semuanya dianggap sama. Padahal pola bisnis yang dimiliki keduanya jelas berbeda, intitusi berkepemilikan pemerintah jelas merupakan bagian dari public services obligation –diberi mandat untuk memberi layanan public tanpa harus berhitung angka nominal, sementara disektor swasta layanan public tentu dilakukan dengan memandang biaya yang telah dikeluarkan, sehingga profitabilitas menjadi penting bagi sutainabilitas perusahaan.
Melihat BPJS Kesehatan yang berlaku sebagai single operator dimasa mendatang, kondisi jelas menjadi sebuah problematika baru bagi seluruh industry kesehatan, termasuk rumah sakit swasta, asuransi swasta, perusahaan farmasi dan alat kesehatan. Alih-alih melakukan negosiasi, keputusan telah final bahwa integrasi seluruh system akan berlangsung sempurna dalam naungan BPJS Kesehatan secara nasional, jelas kondisi ini seolah menampik peran swasta yang selama ini mengisi kekosongan ruang atas pelayanan kesehatan yang tidak mampu diadakan oleh pemerintah sendiri.
Fase monopoli dari sebuah pasar yang telah terbuka memang hanya akan efektif dengan menggunakan pendekatan kekuasaan, dengan regulasi dan aturan yang bersifat mengikat. Dengan kondisi kekinian, melalui instrument BPJS Kesehatan, pemerintah sesungguhnya hendak melakukan nasionalisasi layanan namun tetap membiarkan terdapatnya peran swasta.
Entahlah apa yang hendak dicapai, bayangkan pada sebuah institusi layanan kesehatan swasta harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, berusaha memutar otak memastikan kewajiban atas karyawan, hutang bank dan supplier, kemudian ditambah dengan pangsa pasar yang akan seragam dimasa depan. Sekarang bandingkan dengan institusi layanan kesehatan milik pemerintah, yang telah mendapatkan asset tanah dan gedung beserta seluruh peralatan melalui alokasi anggaran, termasuk biaya tenaga kerja yang terlibat, jelas posisi ini berbeda karena tidak memiliki tingkat kerumitan persoalan, untung-rugi bukan menjadi masalah toh ada anggarannya.
Kembali ke persoalan tentang acara yang saya hadiri tersebut, maka didapuklah sebuah rumah sakit yang disebut sebagai rumah sakit swasta, namun bagi saya tingkat ke-swasta-annya masihlah abu-abu, karena rumah sakit ini adalah anak perusahaan sebuah BUMN Pelayaran, meski diberi label telah di spin-off, toh sama saja karena tidak terbebani dengan investasi awal karena seolah di-reset saja.
Rumah sakit ini kemudian menceritakan konsepsi Lean Management, serta keberhasilan dalam melakukan pengembangan layanan bahkan mendapatkan untung. Sesuatu yang sangat wow bagi saya, dan inilah yang membingungkan, karena rumah sakit dengan penyertaaan negara sekalipun berhitung untung-rugi, termasuk seluruh RSUD dan RSUP yang membangun layanan VIP sesungguhnya telah miskonsepsi, karena jejaring institusi pemerintah harusnya focus pada layanan umum setara kelas III.
Pola Lean Management sebenarnya tidak lain adalah upaya pengecangan ikat pinggang, memangkas biaya membuang waste and defect yang masuk kedalam tataran retorik. Seolah hendak berkata, rumah sakit sudah terlalu banyak mengambil untung, dan sekali lagi ini sesat berpikir, bahwa rumah sakit swasta memang harus menuai untung agar dapat berjalan secara operasional, tetapi kerapkali yang terlalu keji menghakimi adalah persepsi public, tidak pernah dihitung berapa nyawa tertolong namun ke-alpa-an yang dicari, kita tidak pernah membangun konsensus damai.
Rumah sakit yang menjadi percontohan diacara tersebut kemudian menyatakan bahwa mereka memberikan penekanan pada konteks kendali mutu, kendali biaya, hendak menandaskan bahwa harga kaki lima dengan kualitas bintang lima adalah sebuah hal yang realistic. Padahal sesuai dengan rumusan yang disebutkan kendali biaya menjadi pengendali mutu, bahwa biaya yang dikendalikan membuat mutu pelayanan sangat terkendala untuk mencapai layanan secara paripurna. Kendali berubah menjadi kendala.
Apa yang Anda bayangkan saat melakukan pengobatan diluar negeri semacam di Singapura? Semua pemeriksaan dilakukan untuk mendapatkan detail diagnose yang merepresentasikan kondisi kesehatan Anda, tentu dengan harapan kesembuhan semuanya menjadi mudah saja, namun bagaimana masalahnya bila hal itu dilakukan di Indonesia oleh operator institusi layanan kesehatan swasta? Persepsinya pasti soal cari untung, tertawa diatas penderitaan orang lain dan berbagai stigma negative lainnya bukan? Padahal bila mengacu pada kebutuhan diagnose, semua tindakan tersebut diperlukan.
Sekarang BPJS Kesehatan menerapkan pola diagnose telah ditetapkan dalam satu paket, jadi sakit kepala harus dilacak problem kepala, padahal bisa jadi yang bermasalah adalah gigi dan gusi, atau problem keseimbangan ditelinga, bukan tidak mungkin terdapat masalah di paru-paru Anda? Kita selalu terheran bila Singapura bisa mendiagnosa penyakit yang terbilang jarang dan langka dengan presisi, bagaimana kita dapat masuk ke level tersebut bila batasan pemeriksaan dilokalisir secara kaku dan rigid?.
Dititik itulah kendali biaya menjadi kendala mutu pelayanan, walhasil segala macam hal yang menjadi penting dalam aspek medic kemudian dibuang, sekedar mengejar kendali biaya. Terbayangkan dalam konsepsi medis “Less Pain” adalah bentuk kualitas layanan, apa dinyana bila pasien kemudian harus sedikit meringis karena obat anti nyeri yang diberikan ada digolongan kelas obat berdampak rendah, hanya karena kendali biaya?. Ya dititik itu, kendali berubah tidak terkendali dan menjadi kendala.
Pasien dipoli rawat jalan membludak, belum lagi dirawat inap pun menumpuk, jadwal operasi telah masuk dalam daftar antrian hingga terhitung minggu dan bulan? Para dokter dan manajemen malah sibuk dengan urusan kodifikasi dan klaim dibandingkan pelayanan? Rasanya perlu reformat bentuk yang lebih fair bagi semua pihak agar sinergi yang dibangun bukan win or lose dalam hal ini. Dan jelas bahwa keterhubungan dimasa depan dengan BPJS Kesehatan lantaran keharusan dan bukan pilihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H