Tanpa terasa, pertengahan bulan Ramadhan sudah kita lewati. Artinya, kurang dua minggu lagi lebaran akan tiba. Bagi yang ingin mudik, segala persiapan pasti sudah dilakukan. Pesan tiket bis, kereta atau pesawat paling tidak sudah dilakukan 1-2 bulan sebelumnya.
Tempat tinggal waktu berada di kampung halaman sudah sudah disiapkan, apa mau nginap di rumah orangtua, saudara atau di hotel. Demikian juga oleh-oleh untuk sanak saudara dan kerabat tak lupa disediakan.
Mudik atau pulang kampung memang fenomena tahunan yang memerlukan persiapan ekstra. Harapannya supaya selama perjalanan dan di kampung halaman semuanya bisa lancar.
Demi bertemu dengan orangtua dan kerabat, terkadang kita memaksakan diri supaya bisa pulang. Logika sering terkalahkan oleh keinginan yang kuat untuk pulang.
Meski harga tiket melambung tinggi tetap dibeli. Walau biaya mudik menguras tabungan, jadwal mudik tetap dilanjutkan. Bahkan kalau perlu cari utangan. Meski mengalami kemacetan berjam-jam di jalan, semangat untuk bertemu handai tolan tetap tak terkalahkan.
Di beberapa negara lain yang penduduknya mayoritas muslim, seperti Arab Saudi, Iran atau negeri tetangga seperti Malaysia dan Brunei, fenomena mudik waktu lebaran tampaknya tak seheboh seperti di Indonesia.
Inilah budaya atau tradisi yang tampaknya hanya ada di Indonesia. Tradisi tahunan yang mampu menggerakkan jutaan orang untuk pulang ke kampung halaman pada waktu yang bersamaan. Tanpa komando dan tanpa perintah.
Sebenarnya, apa sih yang menyebabkan para pemudik rela dan berjuang habis-habisan untuk bisa pulang? Dorongan apa yang mampu mengalahkan logika para pemudik bahwa sebenarnya pulang kampung atau mudik tak hanya waktu lebaran?
Tak mudah memang menjawabnya. Namun bagi para pemudik yang biasanya juga seorang perantau, ada semacam rasa kerinduan dalam hati untuk suatu saat bisa kembali ke kampung halaman. Ada rasa kebahagiaan dalam hati bisa bertemu dengan orangtua dan sanak saudara. Dan waktu yang tepat adalah saat lebaran.
Kerinduan untuk sungkem dengan kedua orangtua, berziarah ke makam orangtua yang telah meninggal. Bermaaf-maafan dengan sanak saudara. Juga bertemu dengan ponakan-ponakan yang lucu-lucu.
Juga kerinduan dengan tempat dimana kita dilahirkan dan dibesarkan. Kerinduan berkumpul lagi dengan teman bermain semasa kanak-kanak. Kerinduan akan semua pengalaman dan kisah masa kecil di kampung halaman yang nggak mudah untuk dilupakan.
Mudik adalah cara untuk mengobati rasa kerinduan dalam hati akan kampung halaman, dan untuk sejenak melupakan rutininas pekerjaan yang menguras tenaga dan pikiran. Rutinitas yang terkadang melupakan jati diri kita dan hubungan dengan keluarga serta sanak saudara.
Tak hanya itu, mudik juga mengingatkan siapa diri kita, asal usul kita dan darimana kita berasal. Untuk menyadarkan kita bahwa sejauh-jauhnya kita bepergian, suatu saat akan kembali pulang.
Kalau sudah seperti itu, mudik rasanya tak hanya perjalanan yang bersifat fisik, namun juga psikis, bahkan spiritual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H