Mohon tunggu...
Yudhi Amrih
Yudhi Amrih Mohon Tunggu... profesional -

• Legal profession • Newbie Writer • Journalist • Scooterist • follow: @iduyberkah •

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Budaya Beringas di Negeri Ramah Tamah (part: Kebebasan Pers)

6 Maret 2013   01:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:16 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah kasus yang cukup ironis kembali manampar alam demokrasi Negeri ini beberapa waktu lalu. Tepatnya Sabtu 2 Maret kemarin, terjadi aksi kekerasan yang dilakukan kepada seorang Wartawati yang sedang melakukan liputan atau tugas Jurnalistik di daerah Kalimantan Timur. Tindak kekerasan atau penganiayaan terhadap sang Wartawati itu dilakukan saat ia sedang melakukan liputan tentang sengketa tanah warga Desa Rantau, dan ironisnya kejadian tersebut dilakukan oleh belasan orang serta melibatkan aparatur daerah yaitu “Kepala Desa Rantau Panjang”, hingga sang Wartawati mengalami keguguran.

Sebuah moral manusia yang terkenal dengan semboyan ramah-tamah, kini berevolusi menjadi brutal akibat dogma tentang kekarasan yang ada didalam pikiran mereka masing-masing. Pada prinsipnya “Kekerasan” sama dengan “Penganiayaan”, dalam bahasa hukum, merupakan suatu ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang. Dengan kata lain, segala sesuatu tindakan dengan menggunakan “Kekerasan” adalah melanggar hukum dan di atur dalam KUHP.

Kekerasan atau tindak penganiayaan nampaknya menjadi hal lumrah bagi sebagian orang. Bagaimana tidak, sebagian orang meghalalkan tindak kekerasan atau penganiayaan sebagai hal wajib terakhir apabila tidak menemui penyelesaian ujungnya. Dari pertikaian individu, sekolompok ulayat daerah yang berkonflik agraria, sampai menyelam pada ranah tantanan keluarga.

Dari paparan kasus diatas, secara kasat mata terlihat bahwa negara ini masih memerlukan waktu panjang untuk dapat berdemokrasi. Tindak kekerasan atau penganiayaan terhadap sang Wartawati itu jelas menciderai esensi dari kebebasan pers yang merupakan tonggak berhasil atau tidaknya suatu negara dalam berdemokrasi. Terlihat bagaimana Hak dasar atau Hak Asasi warga negara diabaikan atau bahkan dirampas dalam kasus tersebut, khususnya menghalangi masyarakat untuk mendapatkan informasi. Dalam Konstitusi Negara, Hak-Hak Warga Negara sangat terang disebutkan dalam Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undasar 1945.

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers disebutkan pula, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”. Dalam arti lain kebebasan pers untuk memberikan informasi yang berdasarkan fakta adalah wajib hukumnya, dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Lalu apakah tindakkan kekerasan atau penganiayaan terhadap Wartawati tersebutmerupakan pelanggar hukum???? Jawabannya tentu saja “Iya”. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers secara terang menyatakan tentang ketentuan pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja membungkam kebebasan pers.

Kejadian seperti ini bukanlah kali pertama dinegeri yang berlimpah rempah-rempah ini. Terlebih saat negeri ini dalam cengkraman orde kelam yang mengatas namakan Orde Baru di bawah sistem keras Militeristik. Pembungkaman, pembredelan, pemboikotan sampai penghilangan unsur-unsur pers dilakukan tanpa ada perlawan pada masa itu. Apakah negeri ini akan kembali pada masa kejayaan Militer ditahun lalu???

Adaptasi gaya kolonial dalam penggemblengan mental bangsa khususnya yang berkaitan kebebasan pers dengan menggunakan kekerasan atau penganiayaan seperti ini tidak mungkin dapat dicegah hanya dengan menggunakan Undang-Undang sebagai legalitasnya, tetapi harus dengan merubah prinsip-prinsip serta cara tindak seluruh aparat penegakan hukum. Tindakan pelanggaran terhadap kebebasan pers merupakan suatu pembodohan yang dilakukan sistem pemerintahan kepada warga negaranya.

Semoga negeri ini semakin berbenah agar esensi dari kebebasan pers tidak semakin tenggelam dalam corat marut setumpuk permasalahan yang ada. Karena salah satu tugas pers selain memberikan informasi dan supermasi hukum adalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Apakah negeri ini siap untuk menjadi negeri yang lebih bermartabat dengan menghormati segala hak-hak warga negaranya???

Tidak hanya mengenai masalah pembungkaman kebebasan pers, tetapi secara garis besar saya berharap agar tidak ada yang lagi “Budaya Beringas di Negeri Ramah Tamah”.

my blog http://indonesiadulusaatinidanyangakandatang.blogspot.com/2013/03/budaya-beringas-di-negeri-ramah-tamah.html


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun