Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan Negara (Hans Kelsen).
Kata Demokrasi menjadi sangat fenomenal belakangan ini, membuntuti stigma positif Hak Asasi Manusia terhadap pilihan, pandangan, pendapat dan cara berideologi masing-masing individu. Namun jika ditelaah secara harfiah kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani “demokratia” yaitu kekuasaan rakyat, yang diambil dari “demos” berarti “rakyat” dan “kratos” yang berarti “kekuasaan”. Jika dilihat dari sejarahnya kata demokrasi ini ada pada abad ke-5 sebelum Masehi untuk menyebut sistem politik Negara atau kotaYunani, salah satunya Athena (kata lain merupakan antonim dari aristocratie)[sumber Wikipedia]. Dijaman tersebut keduanya saling bertentangan, namun kenyataannya baik dari segi konsep maupun praktek demos mengisaratkan makna diskriminatif. Demos tak lagi rakyat keseluruhan, akan tetapi hanya milik komoditas tertentu, yaitu mereka yang didasarkan akan tradisi atau kesepakatan formal mengkontrol akses sumber-sumber kekuasaan dan bisa diklaim kepemilikan atas hak-hak prerogative dalam sebuah pengambilan keputusan yang berkaitan dengan urusan publik. Menurut seorang filsuf besar J.J Rousseau dalam bukunya Du Contract Sosial (1712-1778 M) yaitu: “Negara adalah sebuah produk perjanjian sosial, individu-individu dalam masyarakat sepakat untuk menyerahkan sebagian hak, kebebasan dan kekuasan yang dimilikinya kepada suatu kekuasaan bersama”.
Jadi demokrasi itu bukan kata yang berarti setiap orang berhak atau punya pendapat seperti yang disangkakan kebanyakan orang sekarang, tapi demokrasi itu merupakan sistem pemerintahan. Namun saya melihat demokrasi sekarang ini diartikan sebagai kebebasan berpendapat, keterbukaan atau sebagainya, pikir pendek saya ya tidak apalah walaupun sedikit membias hampir sama dengan makna Human Right dan ideology Liberalisme. Lebih sensitive daripada kita membicarakan demokrasi secara harfiah, seharusnya kita mengorek ekses kekompleksitasan dari lahirnya demokrasi itu sendiri, terutama dalam hal perebutan kekuasaan beserta keriuhannya.
Kondisi Saat Ini
Tahun 2014 menjadi tahunnya Indonesia untuk merotasi sistem, tak hanya dari pemerintahan tetapi pola bergerak untuk 5 tahun kedepan, dibidang ketahanan, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertanian, perindustrian, kesejahteraan, pembangunan Negara dan lain-lain. Pemilihan Umum yang akan diadakan tepat 9 Juli 2014 nanti merupakan pesta rakyat untuk suatu pengharapan kearah lebih baik untuk kemaslahatan. Banyak kekecewa rakyat yang muncul akibat pragmatisnya keadaan yang dipimpin oleh SBY, dimulai dari kesejahteraan rakyat yang tak kunjung membaik secara signifikan, sampai munculnya kasus seperti Lapindo, Kisah Cicak vs Buaya, Century, Hambalang dan masih banyak lagi. Kini rakyat menggantungkan nasib Negara ini kepada 2 sosok calon pemimpin yaitu Prabowo dan Jokowi, untuk kemudian mengharapkan sedikit asa agar bangsa ini bisa lebih baik dari segala aspek. Fenomena pemilu ini bagaikan gunung berapi yang siap melutup mengeluarkan lahar panas, berbagai bentuk kekecewa yang terkodifikasi dalam tiap individu terakumulasikan menjadi sebuah pengharapan baru bagi sosok yang mereka inginkan menjadi pemimpinnya kelak. Tak ayal jelang perhelatan pemilu, banyak rakyat yang mendewakan sosok calon pemimpin mereka, walaupun kadang pola tingkah mereka terlihat seperti euphoria belaka. Bangsa ini punya kemajuan yang pesat, dan kenapa saya katakan “kemajuan pesat”, seperti kita ketahui, sedikit mengulas kebelakan masa Orde Lama dan Orde Baru perhelatan akbar seperti ini (re: pemilu) menjadi saat yang terlampau amat menjenuhkan, karena apapun hasilnya dan siapapun pemenangnya akan didominasi oleh orang-orang dari kalangan itu-itu saja, tidak lain tidak bukan ya si partai kuning itu. Pada masa itu Presiden merupakan mandataris dari MPR RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat Repubik Indonesia), sedangkan dari para penghuni MPR RI-nya saja rakyat tidak mengetahui bibit-bebet-bobotnya, yang ada hanya kongsi beberapa birokrat cap kaleng kerupuk, tong kosong nyaring bunyinya. Namun mau tidak mau, setuju atau tidak setuju rakyat dipaksa untuk percaya dan yakin, layaknya bangsa “beo” yang hanya mengikuti suara yang dia dengar, dan juga bangsa “bebek” yang hanya bisa membuntut saja. Peristiwa demi peristiwa tak sampai kepermukaan, tertutup oleh kediktaktoran sang Jendral yang saat itu memimpin, atau dengan kata lain kasus dipeti es-kan.
Tahun 1998 menjadi awal perubahan bagi sistem berpolitik bangsa, arus deras gelombang ketidakpuasan rakyat akibat diskriminasi, penindasan, kongkalikong ala cendana serta berbagai manipulasi politik yang semakin meluas. Ekses dari semua itu meledaklah sebuah perjuangan karena klimaksnya suatu kemarahan rakyat terhadap sistem pemerintahan saat itu, dengan desakan Mahasiswa dan rakyat sang Jendral pun melepaskan jabatannya dari pucuk kekuasaannya. Sebagai gantinya sang Wakil Presiden saat itu, Bapak B.J. Habibie melanjutkan tongkat estapet sang Jendral dengan tujuan agar tak terjadi status quo. Kepemimpinan sang jenius pun sebenarnya jauh lebih baik dari sang Jendral, akan tetapi karena suatu blunder (pemberian referendum untuk Timor-Timor) ia terkena krisis kepercayaan rakyat. Akhirnya tepat ditanggal 7 Juni 1999 dilangsungkan Pemilihan Umum yang diikuti oleh 48 partai politik, dan keluarlah PDI-P sebagai pemenangnya, namun tongkat kekuasaan bukan dipegang ibu Megawati Soekarno Putri melainkan Gusdur yang notabennya berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa. Roda politik Negara ini pun masih terus bergulir, dan ditahun 2004 tertorehkan sejarah disistem bernegara bangsa, pasalnya pada 5 Juli 2004 dilakukanlah Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dan menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai pemimpin bangsa saat itu. Banyak pernyataan bahwa keberhasilan SBY saat itu hanya pencitraan belaka, dibalik kepribadiaan yang tenang, dan dibalik sosok tegak seakan tegas, ditahun 2009 Susilo Bambang Yudhoyono kembali memimpin bangsa ini, akan tetapi tidak didampingi wakilnya terdahulu melainkan memilih mantan Gubernur Bank Indonesia, Boediono. Dua dekade sudah SBY memuncaki tahta kepresidenan Republik Indonesia, kepercayaan rakyat yang terbangun karena pencitraan pun kian menipis akibat kenyataan dengan segala problematik serta haru birunya. Peranan SBY pun bukan juga tak tanpa hasil, beliau berhasil membuat kestabilan bangsa, itu juga tak boleh kita lupakan karena bangsa yang besar adalah bangsa yang berani mengakui kebesaran atau kehebatan bangsanya sendiri. Namun terlepas dari hal itu pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung menuut saya tidak pas dengan sila ke-4 Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Jelas jika kita menilik apa yang tercantum dalam sila tersebut, tidak hanya punya maksud dan tujuan, akan tetapi juga mempunyai plus dan minusnya. Pemilihan Umum yang dilakukan seperti belakangan ini dirasa tengah bergeser dari kodratnya, sehingga kebenaran yang didapat melalui vonis dalam jumlah yang banyak.
Jika kita melihat kondisi saat ini, kondisi dimana bangsa Indonesia akan mengalami kembali momentum besar, yaitu Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden untuk kesekian kalinya. Seperti diketahui dua calon pasangan yang akan bertarung dipanggung politik kali ini punya rekam jejak sejarah baik dari segi positif maupun negatifnya. Hampir seluruh rakyat Indonesia akan menentukan pilihan mereka didua kubu yang berbeda, meredukasikan statement-statement calon pemimpin mereka dalam sebuah variable yel-yel maupun orasi penarik massa, berharap kubunya semakin yang akan terpilih menjadi pemenang kelak. Dan kenapa saya katakan “hampir seluruh rakyat” bukan seluruh rakyat, karena ternyata ada juga kelompok rakyat yang tak percaya akan integritas kedua calon pemimpin yang akan bertarung itu, dan mencoba membuat pilihan untuk tidak memilih. Apapun itu tergantung individu yang menyikapi, Negara ini punya toleransi yang sudah beribu tahun dicanangkan oleh Empu Tantular, yakni Bhineka Tunggal Ika, jadi sudah seyogyanya kita sebagai rakyat yang berdaulat mengamalkan ke-Bhineka-an kita.
Kata DEMOKRASI menjadi selebritas belakangan ini, dan juga menjadi momok yang dielu-elukan serta diteriakan para kumpulan partisipan-partisipan partai yang mendukung dikedua belah calon pemimpin nanti. Tak ayal kata demokrasi kerap dijadikan senjata politik untuk menjatuhkan lawan politik lainnya, melalui penyebaran isu maupun mengorek luka lama dari masing-masing calon yang bertarung dipanggung politik. Akibat pergolakan perebutan kekuasaan ini ranah integeritas bangsa pun mulai terkoyak, perbedaan pendapat memang menjadi celah masuknya suatu pertentangan yang berujung pada gesekan dikelompok masyarakat. Bangsa ini masih terbilang premature untuk menelan apa yang disebut dengan demokrasi, sehingga makna dari demokrasi menjadi suatu boomerang bagi bangsa kita sendiri. Mantabnya keyakinan rakyat pada satu calon yang akan memimpin, membuat ia melupakan track record dari calon yang ia usung, bagi mereka, calon yang dielu-elukan merupakan calon pemimpin yang ideal kelak memimpin bangsa. Inilah awal dari retaknya integritas bangsa, sehingga mudah sekali disusupi dan lebih parahnya lagi masuknya strategi barat yaitu devide et empera. Dapat dilihat strategi dari tim sukses kedua calon berhasil memikat masing-masing hati rakyat yan mendukungnya, bahkan rakyat yang sudah terdoktrinpun semakin semangat menjagokan pilihannya, dan tak bisa dipungkiri lagi, rakyatpun semakin menjadi buas dalam hal menyerang pendukung lawan politik calon pemimpinnya. Berbagai isu dilemparkan, berbagai fitnah maupun ejekan terhadap lawanpun gencar dilakukan. Sosial media menjadi kendaraan bagi politik untuk mencapai kekuasaannya, maka itu sosial media yang menjadi kebutuhan primer rakyat khususnya kaum muda menjadi tempat berkampanye paling tepat sasaran belakangan ini. Tak hanya sosial media, berbagai media pun menjadi target sentral bagi, dan apesnya kini peranan media yang seharusnya menjadi tembok kokoh demokrasi malah menjadi suatu amunisi penting bagi perebutan kekuasaan. Saya sangat senang sekali jika menyebut media yang dalam hal ini berarti pers sebagai lahan empuk bagi seseorang maupun sekelompok kepentingan untuk dapat pelintirkan suatu permasalahan agar terlihat seperti “Anomali Kekuasaan” (yang salah jadi benar dan yang benar jadi salah). Posisi media massa yang sangat rentan menjadi amat sangat strategis jika dikaitkan dengan pembentukan suatu opini publik, yang lebih mengarah pada pembodohan rakyat. Sebagai bangsa besar seharusnya kita sadar fungsi informasi adalah edukasi, dan seperti itulah seharusnya tugas dari pers sebagai media massa. Suasana pergantian kekuasaan teramat sakral bagi opnum birokrat mencapai pucuk kekuasaannya, dan media massa menjadi lahan yang teramat seksi dan mubazir jika dibiarkan begitu saja, penggiringan opini publik serta adanya barter kepentingan menjadi daya tarik dalam kisah pergolakan politik sekarang ini. Sumirnya informasi serta pembiaran stigma negative terhadap masing-masing lawan politik membuat rakyat semakin terombang-ambing dalam gelombang perebutan kekuasaan. Minimnya literatur akan calon pemimpin serta derasnya mekanisme politik dalam meraih suara membuat alam demokrasi Indonesia belakangan ini seperti panggung dagelan. Saya tak takut jika berucap alam demokrasi Indonesia seperti panggung dagelan, karena memang seperti itu kenyataannya, watak manusia yang dahulu dianggap menakutkan dan diktaktor bisa menjadi sosok dewa yang diagung-angungkan belakangan ini, bahkan ada calon yang dikorbankan untuk bisa melenggangkan kekuasaan. Dan kenapa saya bilang “calon yang dikorbankan”, karena memang sosok mantan Walikota yang satu ini terlihat dikorbankan, karena pencitraan atau efek yang berhasil memikat hati rakyat kemudian diusung menjadi seorang pemimpin negeri. Lucu sangat lucu, bahkan teramat lucu membuat bangsa asing tertawa melihat keadaan kita saat ini, inilah kita dengan segala “kemajemukan” kita, dengan ke-Bhineka-an kita, dengan slogan rawe-rawe rantas malang-malang tuntas kita, yang saling hanyut dalam pesta perebutan kekuasaan.
APA HARUS GOLPUT?
Sekelebat saya sempat berpikir untuk golput, karena memang kedua calon yang bertempur kali ini sama seperti pemimpin kita sebelumnya. Mungkin ini juga yang dirasakan sebagian rakyat diluar sana, yang berpikir apakah golput menjadi solusi yang tepat mengatasi dilematis politik. Golput atau pilihan untuk tidak memilih bukanlah solusi agar Negara ini menjadi lebih baik, golput juga bukan suatu cara membuat alam demokrasi kita menjadi dewasa, namun golput bisa menjadi pukulan telak bagi bangsa yang masih terbilang prematur dalam era demokrasi seperti sekarang ini.
Kata demokrasi memang kata asing ditelinga rakyat, tak aneh artinya pun kini mulai bergeser, namun seyogyanya jadilah pribadi bijak dalam mengambil keputusan, baik dalam sikap maupun pilihan. Jangan mengedepankan euphoria liar saat berkampanye dan janganlah devide et empera kembali memecah integritas kita sebagai satu kesatuan bangsa yang hebat. Apakah anda DEMAM DEMOKRASI DIMUSIM PEMILU???
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H