Mohon tunggu...
Yudha Tito Saputra
Yudha Tito Saputra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

hitam, pekat, namun kadang terlalu kuat dalam jernihnya air… kerikil tajam, bukan timbunan kopi yang rapuh…

Selanjutnya

Tutup

Puisi

SENJA

28 Desember 2012   17:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:53 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

duhai peri dengan sayap patah tergantung di jemari,
ingatkah kau dengan riang mu?
tawa lepas dan senyum tanpa cemas yang pernah terukir dalam riak?
atau sejenak peluh yang pernah terlepas diatas gundukan pundak ini?

dan secercah sinar lampau yang pernah kau lepaskan, seketika hinggap di angan…
cahaya lalu yang pernah menjadi arah tarianmu, berharap semua akan baik saat mulai kau tempatkan perasaan dengan permainan…
mungkin salah dirimu mengertikan langkah dan pijakmu saat itu, ini bukan lamunan rindu…

duhai langit pencipta tetes air yang menjelma badai…
kuwujudkan diriku dalam logika, angin tidak menyatu dengan tetesku yang tajam…
mungkin angin telah membawaku pergi entah mengawang…
tergenggam harap dalam tarian, namun aku akan pulang…
kelak kemaraumu akan mengeringkan ku tuk pergi kembali menuju langit, menunggu penghujan…

kau angin, mungkin tak seharusnya pesonamu menohok akal fikirku…
bukan dirimu tak berhati, namun tujuan pun tak kau punya…
kelak namun pasti aku akan membasahimu, dan keringku karenamu terjadi…
kita tak seharusnya berpijak di langkah yang sama, lanjutkan tarianmu…

ingatkah ketika kemarau itu melewatkan keringnya hanya karena aku berteriak memuja tiupanmu?
aku hampir mati kala itu…
bukan lelucon, dan aku terus menghujam bumi, kemudian aku bermuara…
hanya untukmu, bukan tuk batu, tanah, atau api yang pernah ku jumpai…

tetesku perih kala kau mulai pergi, meninggalkan kekacauan yang tidak sepatutnya kau bergerak diatas padi…
jauh berdendang tarianmu membuncah genanganku, itu maumu…
kemudian kulihat tersenyum kau dengan sesamamu…

dan aku kini menguap, aku tiada sebelum ini…
aku dengan wujud baruku mulai menetes, menapaki jalan setapak lalu yang pernah ku aliri bersamamu… tetesku pasrah…
dingin aku tak kenal lawan dan kawan… semua seperti baru, reinkarnasi kesucian perasaanku terjadi…

namun mengapa tarianmu diam? pucat pasi senyummu terurai…
bukankah bersama angin lain kau bisa menari, menapaki masa mu yang akan terus indah dalam benakmu?
itu maumu bukan? kemarin pun terpecundangi aku dalam buai rasaku terhadapnya…
ya, aku terima… kita tak sama, jawab mereka…

"lakum dinukum waliyadin, toreh keyakinanku dalam kitab itu… petuah temurun dari sang langit terhadapku… jangan kau paksakan imanmu terhadapku, juga benarmu terhadap ku, juga sebaliknya… pembenaran atas perasaan yang sebatas angan akan meniadakan wujud kita, cepat atau lambat…"

bukan tidak ingin kuakui hadirmu ada, namun mengasing itu yang terbaik…
tak sepatutnya kau menelusuriku lebih, lupakan…
simpan isak mu dalam benakmu sahaja… aku berhati, jangan kau buat menjadi semula…
anganmu tuk menggapaiku tak usah lagi berlari dalam perasaanmu, kelak kau akan tahu akhirnya…

sedangkan aku hampir berhasil menelusuri simpang aliranku… dia sesamaku ingin ku bersatu, namun entah sang langit mengizinkan atau tidak… aku ingin kau tahu, diapun dapat membawa tetesku, dengan cara sesamaku pula…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun