Mohon tunggu...
Yudha Tito Saputra
Yudha Tito Saputra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

hitam, pekat, namun kadang terlalu kuat dalam jernihnya air… kerikil tajam, bukan timbunan kopi yang rapuh…

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Karat

2 Desember 2012   19:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:17 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13544824701758477439

[caption id="attachment_227196" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption] ketiadaan membuat hadirku. terasing kejauhan bayangku memudar. aku tetap air. tetesan yang akan mengering, kelak. tak fasih lisanku menyalak, tiap bisik takdir yang memuai. tertatih kita pernah bersama, walau tubuhku terhempas, sebelum tawamu. jemari ini pernah saling bertemu. aku ingat itu. api ambisimu, aku rasa itu. mungkin terlalu besar. pasrah tetesku mengering, dan tiada. lalu tak mungkin hidupmu berhembus dalam nafasku. sedangkan aku tak lagi ingin bernafas, sejak cerita kemarin hanya sebatas sajak. saat itu. sementara tawa mu tetap mengudara. menghias kelam takdirmu. dan gelap mungkin akan kembali. kau tetap bisa membakarku untuk terangmu. walau perlahan aku tiada. aku tak ingin bicara, selayak kau tak ingin aku. sebatas mimpi kita berjumpa, namun kelak kau merasa ingin bayangku. tangisilah, aku pernah rasakan itu. seonggok kisah terpojok, mengabu. itu mungkin aku. sebagian masa yang kau buang dari sebagian aku. kau dapat memeluknya, disaat itu bukan lagi aku. bercermin, lihat parasmu. aku bahkan tak sanggup. benci ku mengutukku. aku tak sanggup. karena terbunuh akan lebih mudah dari membunuh. aku pernah bercerita tentang masaku. aku yang hijau terang mengayun. itu hanya senandung. bukan sajak keras tentang hitam dan pasrahku, kini. harapku hilang seiring rasaku meradang. sabarku tidak habis, hanya akalku mulai menguasa. lini semua terjajah, di fikirku. aku pernah berjalan, mendaki, jatuh dan hampir mati. lalu salahkah jika mulai ku belajar berlari? tutup kisahku dengan senyum mu, tangismu pun tak apa. aku menguap, tetesku itu sejarahku. aku pernah membasahimu, namun kini keringku olehmu terjadi. hidup pun akan membangkai, kau bukan Tuhan! sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun