Bu Pipit (tengah depan) berfoto bersama sebagian siswa SMK Karya Putra Manggala. (Foto: Yudha PS)
Maghrib hampir saja tiba di desa Mandalamekar, Tasikmalaya, Jawa Barat. Sayup-sayup lantunan ayat suci Alquran mulai terdengar dari corong-corong masjid di kejauhan. Di sini, rumah kepala desa Mandalamekar, tiga siswa berpakaian pramuka tengah bergegas menyiapkan kolak pisang. Sedianya, panganan tersebut ditujukan sebagai menu berbuka untuk mereka yang tengah singgah di rumah tersebut pada Ramadhan tahun 2015 lalu.
Di ruang tengah, bu Pipit Ati Haryati, sang guru, juga tak kalah sibuknya. Dia bergegas menggelar tikar dan menyiapkan gelas lengkap dengan sendoknya. Tamu-tamu yang tengah bertandang ke rumah tersebut, dipanggilnya satu-satu. “Ayo, berkumpul semua ke sini. Waktu berbuka hampir tiba,” ajaknya, termasuk kepada saya.
Tak seberapa lama, kolak pisang sudah siap dihidangkan. Alih-alih ikut berbuka puasa, ketiga siswa SMK pamit pulang ke wanita yang akrab disapa “Bunda” tersebut. “Kalian buka puasa di sini saja, anak-anakku,” cegah bu Pipit, yang disanggah ketiga siswanya tersebut. “Ya sudah, bawa air mineral ini untuk bekal kalian pulang ke rumah,” tuturnya, merelakan, sembari mengecup kening ketiga siswanya.
Kehadiran bu Pipit terbilang baru di Mandalamekar. Keberadaannya seiring dengan berdirinya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Karya Putra Manggala di desa tersebut setahun terakhir ini. Meskipun begitu, bu Pipit sudah seperti ibu bagi 20 siswa angkatan pertama sekolah menengah atas pertama di desa Mandalamekar. Dia merupakan sosok yang mengayomi sekaligus merawat anak-anak Mandalamekar untuk keluar dari keterpurukan intelektual di salah satu desa yang terbelakang secara akses pendidikan di Jawa Barat.
Mandalamekar sendiri merupakan sebuah desa di tengah hutan. Terletak di kecamatan Jatiwaras, kabupaten Tasikmalaya. Infrastruktur di desa ini sungguh minim ketika saya menginjakkan kaki pertama kali pada 2011 silam. Kala itu, jalanannya hanya berhiaskan lubang dan batu besar sekepalan tangan orang dewasa. Listrik kerap byar-pet setiap akhir bulan. Sinyal telepon seluler pun sangat minim dan hanya didominasi oleh satu provider saja. Benar-benar terpencil.
Namun, kondisi ini tidak membuat masyarakatnya putus asa. Sejak 2013 lalu, masyarakatnya giat membangun desa secara swadaya dan mandiri. Meskipun sinyal komunikasi sangat minim, tetapi mereka aktif mengisi website dan berbagi inspirasi di media sosial. Puncaknya, mereka mengajak desa-desa terbelakang di pulau Jawa bagian selatan untuk bersatu dan membangun potensi daerahnya melalui Jawa Kidul Festival pada 2012 lalu.
Hasilnya, Mandalamekar dan desa-desa senasib setahap demi setahap mulai bangkit. Bahkan, di tingkat nasional, Mandalamekar termasuk desa yang memperjuangkan pengesahan Undang-Undang Desa melalui Gerakan Desa Membangun. Imbasnya, pemerintah pusat wajib mengucurkan dana Rp. 1 milyar per tahun per desa di Indonesia.
***
SMK Karya Putra Manggala merupakan jawaban atas minimnya akses pendidikan jenjang sekolah menengah atas bagi masyarakat Mandalamekar. Sekolah ini dibangun atas swadaya masyarakat desa untuk mempersiapkan generasi mudanya agar mau membangun desa tanpa terbawa arus urbanisasi ke perkotaan.
Menurut kang Irman Meilandi, salah satu pengurus yayasan yang menaungi SMK Karya Putra Manggala, sebelum SMK berdiri, jenjang pendidikan tertinggi di Mandalamekar adalah SMP Negeri 2 Jatiwaras. Dari seluruh lulusannya, kurang dari 30 persen saja yang bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Adapun 70 persen sisanya memilih untuk bekerja di desa atau mengadu nasib di kota dengan hanya bermodalkan ijasah SMP dan kemampuan pas-pasan.