[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Foto: Inilah.com"][/caption] Adang sudah 30 tahun menjadi supir angkutan kota. Meskipun usianya baru menginjak 56 tahun, tapi rambutnya sudah memutih, kulitnya keriput, dan tirus. Saya hampir menduga usianya 70 tahun. Meskipun tampak tua, tetapi semangatnya terhitung muda. Sore itu, jalanan Bandung baru saja diguyur hujan. Angkot yang masih melompong tak berpenumpang, tidak membuat semangatnya surut untuk tetap mengabdikan dirinya di jalanan, baik dalam mencari nafkah, maupun mengantarkan orang ke tempat tujuannya. Meskipun begitu, Adang tetap melajukan harapannya bersama angkot tuanya tersebut. Dengan kesabaran dan semangatnya, dia mulai mendapatkan satu per satu penumpangnya. Menjelang akhir tujuan, angkot Adang sudah setengah penuh oleh penumpang. Asa itu selalu dirajutnya di tengah hiruk-pikuk jalanan Bandung yang semakin sesak saja. Berbicara tentang supir angkot, seringkali saya banyak menemukan inspirasi-inspirasi dari mereka. Sebutlah Agus (bukan nama sebenarnya, dan karna sebenarnya saya lupa namanya). Pria asal Garut ini mengemudikan angkot sejak dirinya masih berstatus bujang 25 tahun silam. Meskipun begitu, dia mampu menguliahkan 2 anak pertamanya di UPI. Sedangkan anak ketiga dan keempatnya masih meniti kehidupan di jejang sekolah menengah. Hal yang sama saya temui di banyak supir angkot lainnya yang tergolong berusia lanjut dan memiliki keluarga di kampung halamannya. Mereka membangun masa depan keluarga dan anak-anaknya dengan menjadi supir angkot. Dan mereka mampu. Bagi saya, semangat dan tekad supir angkot untuk membangun keluarganya menjadi lebih baik, merupakan salah satu alasan utama saya tetap menggunakan angkutan kota hingga saat ini. Meskipun ongkos yang saya berikan tidak seberapa untuk mereka, tetapi saya senang bisa ikut berkontribusi memperbaiki kehidupan mereka. Lebih dari itu, bagi saya pribadi, naik angkot merupakan cerminan bahwa Tuhan masih mempercayakan amanahnya kepada saya. Tuhan masih percaya kepada saya untuk menyampaikan rezeki dari-Nya kepada supir angkot. Bagaimana pun juga, pada hakikatnya, sebagian rezeki kita adalah milik orang lain. Dalam hal ini, sebagian rezeki penumpang adalah milik supir angkot. Oleh karena itu, seorang penumpang seharusnya tidak perlu takut kehabisan uang karena naik angkot. Karena yang diberikan bukanlah rezeki penumpang, tetapi rezeki supir angkot yang dititipkan Tuhan melalui penumpang. Luar biasa bukan predikat penumpang angkot itu? Di sisi lain, naik angkot juga menyelamatkan sebagian masyarakat kita dari kemiskinan. Barangkali, sebagian kita miris melihat seorang bapak yang terkena stroke ringan dan berjalan tertatih-tatih dibantu tongkat, tetapi masih berjuang untuk menjual kerupuk. Juga merasa iba melihat anak usia TK berjalan bersama ibunya untuk mengumpulkan rongsokan yang bisa ditukarkan sepiring nasi. Atau mungkin terharu melihat anak SD berjualan untuk biaya sekolahnya. Coba bayangkan, bagaimana jadinya bila kita semua menggunakan kendaraan pribadi dan memilih tidak menggunakan angkot di Bandung? Barangkali, akan ada ratusan, bahkan mungkin ribuan bapak yang tidak memiliki pekerjaan. Kemudian meninggalkan keluarganya tanpa penghasilan dan harus turun ke jalan. Juga menghasilkan anak-anak yang harus mencari uang sendiri untuk sekolahnya. Sepele mungkin, tetapi barangkali setiap masalah sosial yang ada di sekitar kita terjadi justru karena hal-hal kecil yang kita abaikan. Dan salah satunya bisa terjadi ketika kita memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi, tanpa mengindahkan keberadaan para supir angkot. Bila pun angkot tidak nyaman, saya pribadi melihatnya karena kita tidak pernah mau membangun komunikasi dengan mereka. Kita tidak pernah mau memahami dan mengerti mereka, sehingga mereka pun acuh tak acuh terhadap kita. Padahal, bila penumpangnya mengenal supir angkot, supir angkot pun segan melukai perasaan penumpangnya. Bahkan, para supir angkot ini akan senantiasa menjaga, membahagiakan, dan membuat nyaman penumpangnya. Ah, lagi-lagi ini ngelindur di tengah malam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H