Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ngangkot Bersama Harapan

12 Juni 2015   23:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:04 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Raungan kebisingan suara knalpot angkot menemani perjalanan saya dari jalan Naripan hingga kawasan Cijambe, Bandung. “Hiburan” ini sebisa mungkin saya nikmati, bersamaan dengan sajian gemerlapnya kota Bandung menjelang tengah malam. Di dalamnya, tidak hanya manusia yang menumpang. Seringkali, sayuran dan komoditas pasar tradisional lainnya ikut serta menghiasi rupa angkot Cicaheum-Cileunyi.

Pemandangan ini biasa ditemui selepas tengah malam. Para supirnya berjibaku untuk memenuhi ekonomi keluarga dengan mengangkut apa pun yang ada di jalanan Bandung pada malam hari. Umumnya, mereka melayani pembeli yang baru belanja dari pasar tradisional di rute yang dilewati, seperti Pasar Andir, Pasar Kosambi, Pasar Cicaheum, dan Pasar Cileunyi. Mereka juga kerap mengangkut komoditas para pedagang dari dan ke keempat pasar tersebut. 

Angkot Cicaheum-Cileunyi merupakan salah satu yang legendaris di Kota Bandung. Selain “penumpang”-nya yang menawan pada malam hari dan durasi layanannya hingga 24 jam non-stop, trayeknya pun cukup unik. Pasalnya, menginjak maghrib hingga terbit matahari keesokan harinya, trayek angkot Cicaheum-Cileunyi menjadi berkali-kali lipat lebih jauh daripada jalur resminya.

Batas terjauh ke arah barat adalah batas kota antara Bandung dan Cimahi, yaitu di sekitar bunderan Cibeureum. Sedangkan ke arah timur, angkot ini melayani penumpang hingga Rancaekek, Cicalengka, bahkan Garut. "Kumaha hoyong na penumpang wae, Kang (Gimana maunya penumpang aja, Kang)," ungkap salah seorang supir angkot Cicaheum-Cileunyi pada suatu malam kepada saya. Tak berlebihan bila Cicaheum-Cileunyi memegang rekor trayek terjauh di Bandung, bahkan mungkin di Indonesia dan dunia.

Hal lainnya yang selalu saya ingat dari kebanyakan angkot Cicaheum-Cileunyi adalah kondisinya yang cukup ringkih. Lapisan bagian dalam seringkali terkelupas di banyak sisi. Dengan jelas, penumpang bisa melihat lapisan logam kendaraan lengkap dengan bekas las. Tak jarang, logam-logam tersebut tampak keropos terpapar karat. Bila kendaraan mengerem mendadak dan bagian tubuh penumpang mengenai logam tersebut, niscaya sakitnya akan disertai dengan memar dan “nyut-nyutan” hingga seperempat jam lamanya.

Selain tubuh kendaraan, yang selalu terkenang adalah “sensasi” angkot ketika tengah berjalan. Penumpang bisa merasakan mobil selalu bergoyang ketika melaju. Goyangan ini akan berubah menjadi guncangan seiring meningkatnya kecepatan kendaraan. Tampaknya, ban yang tidak selaras dan lurus membuat penumpang selalu merasa diombang-ambing di dalam angkot. Belum lagi shockbreaker yang keras, membuat penumpang akan semakin terguncang ketika angkot melewati jalan berlubang atau perlintasan rel kereta api dengan kecepatan yang cukup tinggi.

Menu tambahan lainnya adalah uji nyali. Rem yang sudah tipis dan kendaraan yang dipacu tinggi, menjadikan momen berhenti mendadak sebagai sarana untuk meningkatkan adrenalin penumpang. Apalagi bila angkot berkecepatan tinggi itu berhadapan dengan orang atau kendaraan yang lebih besar di depannya. Seringkali, penumpang histeris dibuatnya.

Namun, gerutuan terhadap sensasi ini seringkali luluh ketika melihat kondisi supir angkotnya. Keadaan ekonomi mereka jauh dari baik. Jenjang pendidikannya pun tidak memberikan mereka cukup pilihan untuk menyambung hidup. Jangankan menyambung hidup keluarganya, menyambung hidupnya mesin angkot pun sudah cukup tersandung-sandung. Seringkali, para supir ini harus menyicil untuk mengisi bahan bakar bagi angkotnya. Sepuluh atau dua puluh ribu Rupiah sekali mampir di SPBU tidak masalah, asalkan mereka masih bisa mengangkut penumpang tanpa mogok di tengah jalan.

Juga, tengoklah bagaimana mereka mendedikasikan hidupnya untuk melayani penumpang. Barangkali, mudah saja bagi mereka untuk memilih pekerjaan lainnya. Namun, meskipun kondisi angkot yang pas-pasan, tetapi mereka masih mau melayani dan mengantarkan penumpang di tengah dinginnya malam di Bandung.

Bila sudah begini, rasanya tidak tega bila memberi mereka hanya beberapa lembar uang bergambar Patimura semata. Biarlah beberapa lembar Tuanku Imam Bonjol berpindah tangan, tentunya bersama harapan para supir angkot bisa memperbaiki ekonominya, angkotnya, dan senyumnya… 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun