Apa yang pertama-tama harus dilakukan sebelum menulis? Menentukan gagasan? Membaca banyak buku? Melakukan wawancara? Atau menemukan tempat yang nyaman di sebuah kafe bersama secangkir kopi? Bisa jadi, semua hal tersebut merupakan prasyarat untuk menghasilkan sebuah tulisan. Namun, benarkah prasyarat tersebut mutlak diperlukan untuk membangun tulisan yang menarik dan inspiratif?
Sebelum membahasnya lebih lanjut, saya jadi ingat kisah saya hampir setahun yang lalu. Kala itu, saya membantu sebuah lembaga untuk membangun komunitasnya sekaligus public relations berbasis digital. Sebagai seseorang yang berlatar belakang jurnalistik, saya membantu untuk mengembangkan komunitas lembaga tersebut berbasiskan jurnalistik. Sederhananya, lembaga tersebut membuka penerimaan relawan di bidang menulis. Para relawan ini akan membantu membangun repository knowledge tentang produk budaya yang menjadi perhatian lembaga tersebut.
Dalam konteks aktivitas public relations di lembaga tersebut, saya juga membantu membangun situs webnya. Selain sebagai alat public relations ke eksternal lembaga, situs web ini juga nantinya menjadi alat untuk para relawan untuk membangun repository knowledge tentang produk budaya. Karena belum ada komunitasnya, saya diminta untuk membuat tulisan-tulisan terkait lembaga tersebut dan produk budaya yang menjadi perhatiannya.
Sebagai langkah pertama, saya mulai menulis tentang sosok pendiri lembaga tersebut. Setelah selesai, saya memperlihatkan tulisan tersebut ke seorang kawan diskusi tentang menulis dan media. “Tulisan lu garing kali ini, tidak bernyawa,” begitu penilaiannya.
Sampai titik ini, saya dan kawan diskusi tersebut belum memahami penyebab tulisan yang dinilai gagal tersebut. Hingga kemudian, saya membaca tulisan Iwan Pranoto, guru besar matematika di ITB, berjudul “Aku Merdeka”. Tulisan tersebut berkisah tentang seorang ibu dari India bernama Kiran Bir Sethi yang mencetuskan Design for Change untuk membangun kepercayaan diri anak-anaknya dalam menyelesaikan masalah di lingkungan sekitarnya. Gerakan Design for Change sendiri bersandar kepada konsep Design Thinking.
Design Thinking sendiri merujuk ke empat proses desain, yaitu: Feel, Imagine, Do, Share. Feel sendiri merujuk ke proses untuk merasakan permasalahan-permasalahan yang ada di sekitar seseorang. Imagine adalah membayangkan solusi-solusi yang memungkinkan untuk diterapkan. Kemudian Do merupakan tahapan untuk merealisasikan bayangan solusi. Terakhir adalah Share, yaitu membagikan aktivitas melalui media sosial.
Kembali ke kegagalan saya dalam menuliskan sosok pendiri lembaga tersebut. Berkaca ke proses design thingking, ternyata saya tidak tuntas dalam membangun “feel” alias “rasa” terkait sang tokoh. Saya gagal untuk merasakan kepribadiannya, impiannya, dan latar belakang di balik impian-impiannya tersebut, khususnya terkait lembaga dan produk budaya yang tengah beliau perjuangkan. Hasilnya, kawan diskusi saya menjatuhkan dakwaan “garing” dan “tidak bernyawa” kepada tulisan saya tersebut.
Lebih lanjut, menurut kawan diskusi saya, menulis adalah proses berkesenian. Oleh karena itu, prasyarat utama dalam menulis adalah membangun “rasa” dari sebuah cerita. Ketika sang "rasa" berhasil mewujud dalam hati sang penulis, maka “rasa” itu pula yang akan merangkai kata, menyusun kalimat, dan membangun inspirasinya. Sang penulis sendiri hanyalah sebuah perantara yang menyampaikan “rasa” kepada pembaca.
Jadi, sebelum menulis, lupakan kursi empuk di pojok sebuah kafe. Lupakan juga secangkir kopi yang dibandrol dengan harga selangit. Juga, tak perlu lah mengharapkan cuaca di luar sedang hujan rintik-rintik dengan dingin yang memeluk mesra, seolah-olah kondisi yang dramatis tersebut akan membangun tulisan yang melankolis. Untuk membuat sebuah tulisan yang menarik dan inspiratif, tinggal rasakan ceritanya. Setelah itu, biarkan rasa itu yang membangun tulisan dan menyajikannya untuk pembaca.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H