Jumlah 17 ribu pulau lebih yang dimiliki Indonesia menjadi kebanggaan tersendiri bagi negara kepulauan yang satu ini. Di banyak wilayah, pulau-pulau ini disertai dengan pantainya yang indah dengan pemandangan bawah laut yang memukau. Sayangnya, kondisi masyarakatnya tidak seindah pemandangan alamnya.
Salah satu yang saya tengok adalah Kepulauan Aru di Maluku Tenggara. Kabupaten kepulauan ini berbatasan langsung dengan negara tetangga Australia. Di sini, segalanya serba sulit. Salah satunya adalah fasilitas transportasinya yang serba terbatas.
Untuk mencapai Kepulauan Aru bisa ditempuh melalui jalur laut dan jalur udara. Untuk jalur laut, hanya tersedia kapal Tidar yang bersandar setiap 2 pekan sekali alias 2 kali dalam sebulan. Kapal ini menghubungkan Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Ambon dengan Dobo, ibu kota kabupaten Kepulauan Aru. Ada juga kapal Feri yang mengangkut penumpang Dobo dan Tual. Kapal ini beroperasi dua pekan sekali. Itu pun bila cuaca sedang baik. Bila gelombang besar dan angin kencang, biasanya mereka akan berhenti beroperasi, menunggu “suasana hati” cuaca membaik kembali.
Sedangkan transportasi udara hanya dilakoni oleh pesawat ATR milik Trigana Air. Pesawat ini terbang satu hari sekali menghubungkan Ambon dan Dobo via Langgur. Meskipun begitu, setiap saat pesawat ini bisa batal terbang karena alasan operasional. “Tragedi” terakhir, pesawat ini dikandangkan selama 2 bulan lamanya. Salah satu hasilnya, Indonesia dihebohkan dengan wafatnya seorang dokter muda di Kepulauan Aru. Dia wafat karena tidak bisa diungsikan ke rumah sakit yang memiliki fasilitas memadai untuk sakit yang dideritanya.
Di dalam kepulauan Aru, fasilitas transportasi semakin tidak karuan. Transportasi laut hanya menggunakan kapal kecil yang berjalan bila cuaca baik. Gelombang besar sedikit, mereka memilih untuk bersandar di pelabuhan daripada harus “melarung” nyawa ke laut. Tak heran bila harga-harga di sini cenderung mahal, termasuk makanan dan hasil laut.
Fasilitas lainnya? Sudah dipastikan tidak lebih baik daripada transportasi. Komunikasi serba sulit dan minim akses. Fasilitas pendidikan sebatas SMA, itu pun hanya ada di ibu kota kabupaten. Kesehatan, ini jauh dari ada dan kerap hanya seadanya.
Seringkali, saya berpikir-pikir kembali jargon “Laut sebagai penyatu, bukan pemisah,” yang pernah diungkapkan oleh Soekarno. Kenyataannya, laut justru menjadi kendala pemerataan pembangunan. Atau mungkin, dampak Orde Baru yang cenderung fokus ke daratan dan Jawa masih terasa hingga saat ini?
Padahal, Kepulauan Aru dekat saja dari Australia. Dari pulau terujung di selatan Kepulauan Aru, orang-orang bisa sampai Negeri Kangguru hanya dalam waktu 8 jam saja menggunakan speed boat. Membuka perdagangan dengan luar negeri tentu bukan hal yang sulit. Terutama, komoditas yang ditawarkan oleh Kepulauan Aru cukup menjanjikan: mutiara, udang, kepiting, dan ikan yang memiliki kualitas unggul.
Sektor wisata pun tidak kalah bagusnya. Selain ekosistem mangrove yang masih baik, Kepulauan Aru juga terkenal dengan Cendrawasih yang lebih indah dan eksotis dibandingkan Papua. Tantangan berikutnya, semua potensi ini harus dikelola oleh masyarakat Aru dan sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokalnya. Dan yang lebih penting lagi, masyarakat Aru menikmati roda pembangunan dan perekonomian kampung halamannya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H