Mas Popo Sidik, salah seorang Camera Person Kompas TV, tengah mengambil stock shoot untuk episode Cerita Indonesia. (Foto: Yudha PS)
“Mandalamekar”, tiba-tiba saja nama desa itu terbisik di telinga saya pada akhir Mei 2015 lalu. Rasanya, ingin saya mengunjungi kembali desa yang inspiratif tersebut. Semacam ada “panggilan” untuk kembali menuai inspirasi lagi di sana. Namun, apa daya, saya tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk mengunjungi Tasik dan Mandalamekar kala itu.
Namun, semua itu berubah ketika saya mendapatkan telepon dari mba Jessica Sinaga, jurnalis Kompas TV, pada pekan pertama Juni 2015. Sebuah kabar menggembirakan sekaligus luar biasa dan tidak pernah saya duga sebelumnya. Cerita saya tentang Mandalamekar di Kompasiana pada 2011 silam hendak diangkat menjadi film dokumenter oleh Kompas TV. Saya juga diajak untuk ikut mengunjungi Mandalamekar bersama mereka. Tanpa pikir panjang, saya langsung bersedia memenuhi ajakan mereka.
Sejak saat itu, saya mulai menghitung hari dan tidak sabar untuk kembali ada di Mandalamekar. Mba Yessi, begitu mba Jessica akrab dipanggil, menjadwalkan kami tiba di Mandalamekar pada Rabu, 24 Juni 2015. Karena tim Kompas TV harus meliput terlebih dahulu kegiatan di Ciwidey, Bandung, mba Yessi menyarankan agar saya menunggu di Tasikmalaya. Rencananya, kami akan berangkat bersama-sama dari Tasikmalaya menuju Mandalamekar.
Saya pribadi sempat heran dengan keputusan Kompas TV untuk mengangkat cerita yang sudah cukup lama tersebut. Dalam benak saya, tampaknya masih banyak cerita inspiratif lain yang ditulis oleh Kompasianer di situs Kompasiana. Hal ini sempat saya tanyakan ke mba Yessi ketika kami bertemu di Tasik.
“Kami mencari tulisan yang memungkinkan kami visualisasikan,” jawabnya. Dalam benak saya, jawaban beliau cukup wajar. Pasalnya, televisi butuh banyak gambar sebagai media untuk menyampaikan sebuah kisah. Mba Yessi sendiri menemukan banyak tulisan di Kompasiana yang tidak kalah inspiratif. Namun, sayangnya, tidak banyak yang bisa dieksplorasi secara visual dalam tulisan-tulisan tersebut. Terlebih lagi, banyak tulisan yang didominasi oleh opini dibandingkan reportase dari hasil wawancara dan observasi.
Mba Yessi sendiri sebenarnya ingin mengangkat 2 cerita dari tulisan saya. Selain Mandalamekar, beliau juga berharap bisa meliput SD IT Rabbani, sebuah sekolah yang diselamatkan dan dikelola oleh sekelompok mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Namun, sayang sekali, sekolah tersebut sudah bubar sekarang. Penyebabnya klasik sekali. Pemilik lahan dan bangunan ingin mengambil kembali asetnya. Karena tidak memiliki posisi tawar dan kekuatan modal yang cukup, akhirnya sekolah itu harus bubar jua.
***
Pada hari yang ditentukan, saya sudah terlebih dahulu berada di Tasikmalaya. Saat itu, arloji di tangan saya menunjukkan jam 3 sore. Sinar terik matahari musim kemarau menerpa langsung tubuh saya, membuat suasana di dalam bus berpendingin terasa hangat.
Di luar sana, tugu perbatasan antara kota dan kabupaten Tasikmalaya baru saja saya lewati. Artinya, tak lama lagi, bus Budiman jurusan Bandung-Tasikmalaya yang saya tumpangi akan tiba di pemberhentian terakhirnya. Saya segera mengabarkan kedatangan saya di Kota Santri ke kang Duddy RS, seorang sahabat karib di Tasikmalaya. Balasannya, beliau akan menjemput saya.
Kedatangan saya ke Tasikmalaya saya manfaatkan juga untuk mengunjungi sahabat lainnya. Bagaimana pun, Tasikmalaya merupakan salah satu bagian penting dari hidup saya pada era 2011-2012. Selain mengunjungi Mandalamekar, pada era tersebut saya juga kerap membantu teman-teman komunitas media warga di Tasikmalaya untuk membangun gerakan dan mengisi materinya.