Arquivo & Museu da Resistência Timorense, atau dalam bahasa Inggris Timorese Resistance Archive & Museum. (Foto: Blogspot.com)
Bagi saya yang orang Indonesia, berpetualang ke Dili tidak hanya mengeksplorasi kota baru, tetapi juga menapaki keberadaan Indonesia di Negeri Lorasae. Setidaknya, itulah yang saya rasakan dalam pengembaraan singkat saya di ibu kota Timor Leste tersebut.
Seusai penutupan acara National Transparancy Forum on Citizen and Civic Media to Corruption Eradication, saya meminta kepada Gil untuk diantarkan ke museum yang ada di Dili. Satu-satunya museum yang tersedia adalah Arquivo & Museu da Resistência Timorense, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Timorese Resistance Archive & Museum. Saya pikir, ini adalah tempat yang cocok untuk mulai memahami sejarah Timor Leste.
Gil mengantarkan saya sampai ke resepsionis museum. Dia mengenal banyak orang di Dili, termasuk staf museum. Gil mengenalkan saya kepada staf museum yang ada di resepsionis, dan meminta bantuan mereka untuk memandu saya selama di museum. “Saya akan jemput jam 3 sore, yah,” pamit Gil kepada saya.
Arquivo & Museu da Resistência Timorense terletak di Av. Cidade de Lisboa, di depan Kementerian Keuangan Timor Leste. Museum ini diresmikan pada 7 Desember 2005, tepat 30 tahun setelah invasi Indonesia ke Timor Leste, dan ditujukan untuk mengenang perjuangan rakyat Timor Leste dalam meraih kemerdekaannya.
Bangunannya sendiri merupakan bekas pengadilan pada era Portugis, yang kemudian terbakar pada peristiwa September 1999 silam. Kemudian, oleh arsitek Tânia Bettencourt Correia, bangunan ini dirancang dan dibangun ulang, dan kini luasnya berkembang dari 500 meter persegi menjagi 1.325 meter persegi.
Untuk masuk ke museum ini, pengunjung harus membayar US$ 1,00. Saya kemudian diminta menitipkan barang bawaan dan tidak diperkenankan untuk memotret selama di dalam museum. Menyambut saya, sebuah paparan singkat beserta foto tentang perjuangan rakyat Negeri Lorosae dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Paparan ini tertambat di dinding lorong pertama menuju ruang pameran tetap museum dalam tiga bahasa: Bahasa Inggris, Bahasa Portugis, dan Bahasa Tetum, bahasa nasional Timor Leste.
Usaha untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Timor Leste mulai terentang ketika saya menginjak ruang pameran tetap museum. Pengunjung disuguhkan tidak hanya teks dan gambar, tetapi juga video, replika, dan barang-barang peninggalan masa perjuangan Timor Leste. Seluruh kronologi yang dipaparkan dalam museum ini, bisa dilihat di situs museum.
Bagi saya yang orang Indonesia, bagian yang cukup mendebarkan adalah detik-detik invasi Indonesia ke Timor Leste pada 7 Desember 1975 melalui Operasi Komodo. Kala itu, Dili digempur dari laut menggunakan artileri oleh kekuatan laut pasukan Indonesia. Gempuran ini disusul dengan mendaratnya pasukan Indonesia, baik dari laut maupun dari udara.
Hanya dalam hitungan jam, pasukan di bawah pemerintahan Orde Baru tersebut menguasai seluruh kota Dili. Pasukan perjuangan Timor Leste bersama rakyat Dili kemudian mengungsi ke perbukitan di sebelah selatan Dili. Di bagian ini, museum dengan detail menampilkan teks dan foto lengkap dengan grafis kekuatan armada laut dan udara pasukan Indonesia serta cuplikan video pada saat invasi berlangsung.