Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

BBM Naik? Stop Protes, Mari Berkebun!

18 November 2014   08:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:33 1012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Salah seorang tetangga saya memanen Selada Hijau beberapa waktu lalu. (Foto: Yudha PS)"][/caption] Rasanya, bukan hal aneh bila sebagian masyarakat memprotes secara besar-besaran setiap pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Ajaibnya, protes ini akan hilang dalam hitungan pekan, bahkan hari. Selanjutnya, para pemrotes ini akan lupa dengan isu kenaikan harga BBM, dan kehidupan akan kembali berjalan sebagaimana mestinya. Bagi mereka yang hobi memprotes, biasanya akan memprotes isu lainnya yang seksi untuk diprotes. Berbicara kenaikan harga BBM, banyak kalangan mengkhawatirkan kebijakan ini berdampak negatif terhadap perekonomian masyarakat. Salah satunya adalah naiknya harga berbagai hal, mulai dari jasa, barang, bahan makanan, dan lain sebagainya. Logikanya, sederhana saja. Naiknya harga BBM membuat biaya transportasi naik. Karena dunia modern tidak lepas dari sektor transportasi, mengakibatkan biaya produksi dan distribusi pun ikut naik. Ujung-ujungnya, harga komoditas pun turut naik. Karena harga komoditas naik, masyarakat harus beradaptasi dengan meningkatkan daya belinya. Caranya, tentunya meminta kenaikan gaji bagi yang bekerja dan meningkatkan nilai jual jasa dan barangnya bagi wirausahawan. Lingkaran setan ini akan terus menerus terjadi. Lucunya, tidak ada yang pernah belajar dari kejadian ini. Seperti yang saya tulis di atas, sebagian masyarakat akan memprotes pemerintah, kemudian lupa. Ketika kasus yang sama terulang kembali, mereka juga akan mengulangi perbuatannya: memprotes dan lupa. Demikian seterusnya, tanpa ada kesadaran dan usaha untuk mencari solusinya. Bagi saya, kenaikan harga BBM seharusnya membuat kita sadar bahwa kita sudah terlalu jauh dengan alam. Coba tanya diri kita masing-masing, dari mana asal makanan yang kita makan sehari-hari. Seberapa jauh jaraknya dari tempat tinggal kita? Berapa harganya di tempat asal makanan tersebut? Berapa biaya untuk mengangkutnya dari tempat asalnya hingga sampai di rumah kita? Berapa persen kenaikan harga makanan setelah ditambah biaya transportasi dan distribusinya? Barangkali, inilah yang akhirnya membuat kita tidak bisa lepas dari beban kenaikan harga BBM. Padahal, untuk mengatasi semua itu cukup mudah. Salah satu caranya dengan membangun Kebun Bersama Warga di sekitar lingkungan kita, misalnya di tingkat Rukun Tetangga atau Rukun Warga. Kebun ini digarap, dipelihara, dan dijaga bersama-sama oleh masyarakat sekitarnya. Hasilnya, tentu dikonsumsi bersama-sama. Bayangkan, bila kita tidak harus lagi tercekik dengan mahalnya harga cabai atau beras. Kita cukup mengambilnya dari kebun bersama warga. Juga makanan yang kita konsumsi lebih sehat, karena kita bisa mengawasi penggunaan pestisida kimia, atau bahkan tanpa pestisida kimia sama sekali. Juga tak perlu khawatir dengan meningkatnya harga bahan makanan setiap kenaikan harga BBM, karena jaraknya yang sangat dekat dengan rumah warga. Selain Kebun Bersama Warga, cara lainnya adalah Kebun Mikro Rumah Tangga. Dalam hal ini, setiap kepala keluarga membangun kebun mini dan menanam berbagai sayuran, bahkan tanaman pokok berkarbohidrat seperti padi dan singkong. Mereka bisa membangun kebunnya di halaman rumahnya, atau pun di pot-pot gantung di ruang terbuka di rumahnya. Pot tanamannya pun bisa menggunakan berbagai barang bekas, seperti kaleng atau pun ember bekas. Kemudian, setiap bulannya, warga bermusyawarah untuk mengkoordinasikan setiap Kebun Mikro milik warga. Dalam musyawarah ini, masyarakat membahas tanaman yang akan ditanam masing-masing keluarga, sehingga tidak ada kelebihan atau kekurangan komoditas tanaman. Selain itu, musyawarah ini juga sebagai ajang bertukar pengalaman, kendala, dan solusi dalam berkebun. Ketika musim panen tiba, warga kemudian saling menukar dan berbagi hasil panennya sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Andai pun hasil kebunnya tidak mampu memenuhi kebutuhan bahan makanan pokok warga, tetapi kebun ini setidaknya mampu membantu menekan biaya untuk membeli bahan makanan sehari-hari. Berkaitan dengan konsep ini, sebenarnya Bank Indonesia wilayah Jawa Barat pernah mencoba melakukannya. Mereka membiayai dan membina masyarakat prasejahtera untuk berternak atau berkebun di sisa lahan rumahnya. Bank Indonesia sendiri mempunyai kepentingan untuk mengendalikan inflasi. Inflasi sendiri terjadi karena rendahnya suplai dan tingginya permintaan. Dalam hal ini, Bank Indonesia wilayah Jawa Barat berusaha menyeimbangkan suplai dan permintaan dengan memberdayakan masyarakat prasejahtera. Di sisi lain, Indonesia memiliki iklim dan kondisi geografi “Surgawi”. Saya sebut “Surgawi”, karena tanaman bisa tumbuh dengan baik di Indonesia sepanjang tahun. Pasalnya, matahari bersinar sepanjang tahun dengan intensitas yang sangat cukup. Suhu udara pun konsisten di angka 18-25 derajat Celcius untuk dataran tinggi, dan 22-29 derajat Celcius untuk dataran rendah. Selain itu, tanah Indonesia juga subur dengan suplai air yang tidak henti-hentinya mengalir. Coba bandingkan dengan negara-negara subtropis. Ketika saya ke Amerika, pada musim dingin mereka harus merestorasi taman-taman di kotanya. Pasalnya, semua tanaman mati karena diterpa suhu di bawah nol derajat. Selain itu, intensitas cahaya matahari juga tidak merata sepanjang tahun. Pada musim dingin, matahari muncul tidak lebih dari 8-10 jam, dan pada musim panas bisa bersinar hingga 18 jam lamanya. Selain itu, kondisi tanahnya juga tidak cukup subur dibandingkan Indonesia. Tak heran bila penduduk negara subtropis membutuhkan usaha lebih tinggi untuk bertani dan berkebun dibandingkan penduduk negara tropis. Melihat dua sisi dunia yang berlainan ini, saya meyakini bahwa memiliki lahan dan menguasai pengetahuan bercocok tanam merupakan kebutuhan yang paling hakiki bagi manusia Indonesia. Kedua hal tersebut merupakan bekal untuk mampu bertahan di tengah kelangkaan pangan dan sempitnya lahan. Selain itu, pengetahuan bercocok tanam juga membangun manusia yang bijaksana dan berbudi luhur. Pasalnya, bercocok tanam membangun mental manusia yang sabar, pekerja keras, dan tekun. Sosok manusia yang langka di zaman penuh teknologi ini. Barangkali, kenikmatan Tuhan inilah yang kerap dilupakan oleh orang-orang Indonesia saat ini. Masyarakat Indonesia terkungkung modernitas. Kondisi ini, lebih lanjut membuat bangsa indonesia terperangkap dalam keterbelahan hidup, padangan materalisme, dan egoisme tak berkesudahan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun