Tidur lelap saya tiba-tiba terganggu oleh telinga kanan yang mulai kesakitan. Ketika memutuskan untuk membuka mata, pesawat Cessna Caravan yang saya tumpangi mulai turun dengan cepat. Di bawah sana, deretan pepohonan dan rumah penduduk mulai terlihat lebih jelas. Di monitor, ketinggian pesawat sudah mencapai 5 ribu kaki, dan terus turun hingga 3.100 kaki.
“Kencangkan sabuk pengaman,” teriak co-pilot sambil menoleh kepada penumpang di belakangnya. Di sebelahnya, pilot mengatur kecepatan pesawat sembari membelokkannya hingga sejajar dengan landasan bandara Long Ampung. Angin yang berhembus kencang membuat pilot harus memainkan kemudi lebih lihai. Setelah perjuangan yang keras tersebut, akhirnya pesawat berhasil mendarat.
“Banyak angin yah hari ini,” ungkap pilot bule tersebut kepada penumpang di belakangnya dalam Bahasa Indonesia. Saya hanya tersenyum lebar tanda puas dengan tontonan dramatis pendaratan pesawat tersebut.
“Terima kasih, Capt,” pamit saya yang dijawab oleh sang pilot dengan acungan jempol.
Tujuan perjalanan kali ini adalah Desa Long Nawang. Desa ini terletak sekitar 250 Kilometer dari Malinau Kota, Ibu Kota Kabupaten Malinau. Untuk menuju desa tersebut, saya harus menempuh perjalanan udara selama sekitar satu jam dari bandara yang terletak di Desa Long Ampung. Desa Long Nawang sendiri berjarak sekitar 20 Kilometer dari tempat saya mendarat.
Menginjakkan kaki di bandara Long Ampung sebenarnya tidak membuat saya lega sama sekali. Sebaliknya, saya justru merasa bingung. Pasalnya, orang-orang Long Nawang yang saya kenal sedang berada di Malinau. Mereka baru akan kembali selang beberapa hari setelah saya tiba di Long Ampung. Alasannya sederhana: pesanan pesawat sedang penuh.
Kabupaten Malinau sendiri merupakan salah satu daerah di Kalimantan Utara dengan wilayah berupa perbukitan dan rimba hutan hujan tropis. Kabupaten seluas Jawa Barat ini memiliki desa dan kecamatan yang tersebar dari ujung utara hingga ujung selatan Malinau. Sayangnya, jalan kabupaten yang menghubungkan antar desa dan kecamatan ini masih belum bagus. Umumnya, jalanannya masih berupa tanah berlumpur dengan kontur yang berkelak-kelok serta naik dan turun.
Tidak semua kendaraan bisa melalui jalanan ini. Umumnya, hanya kendaraan besar dan gardan-ganda saja yang mampu menembus jalanan tanah berlumpur. Itu pun dengan ancaman kendaraan akan terjebak di lumpur, terbalik, dan yang paling naas adalah masuk jurang. Kondisi ini membuat waktu tempuh ke desa-desa tersebut menjadi sangat lama.
Sebagai contoh, menuju Desa Long Nawang melalui jalur darat membutuhkan waktu sekitar tiga hari sampai satu pekan, tergantung cuaca dan kondisi jalan. Titik pemberangkatannya pun bukan dari Malinau Kota sebagai Ibu Kota Kabupaten Malinau, melainkan dari Samarinda, Ibu Kota Kalimantan Timur. Jalan ke sana pun bisa dipastikan penuh dengan lika-liku dan kontur yang naik turun. Kondisi sebagian besar jalan, sudah pasti masih berupa tanah, berlumpur, dan berlubang besar.
Selain jalur darat, ada juga jalur sungai. Jalur ini sebenarnya penuh dengan resiko. Pasalnya, perahu harus melewati jeram dengan waktu tempuh mencapai beberapa hari. Setelah jalur darat dan udara ramai digunakan, jalur sungai ini sudah tidak lagi digunakan oleh masyarakat Long Nawang.