Ketiga, semakin hari ada banyak orang yang ingin menulis di surat kabar. Mereka bukan hanya datang dari kalangan akademisi semata, tetapi juga politikus, pejabat, dan tokoh publik. Meminjam istilah W. Chan Kim and Reene Mauborgne, surat kabar sudah menjadi "lautan merah" bagi para intelektual. Akibatnya, redaksi perlu lebih keras lagi untuk memilah dan memilih tulisan-tulisan yang layak terbit di medianya. Dampaknya, peluang para akademisi untuk tampil di media massa cetak akan semakin tipis.
Dengan kondisi ini, blog bisa menjadi sarana alternatif untuk mendorong para intelektual akademis untuk menjadi intelektual publik. Rovicky Dwi Putrohari dengan Dongeng Geologinya dan Mba Dina Sulaeman melalui blog Kajian Timur Tengahnya berhasil membuktikan hal ini. Mereka berhasil membawa pengetahuan eksklusif perguruan tinggi menjadi "hidangan intelektual" yang menyehatkan bagi publik. Saya menyebut mereka sebagai Blogger Pakar, yaitu para intelektual yang membangun karirnya di publik melalui blog.
Tentunya, membangun kepakaran melalui blog bukan pekerjaan yang mudah dan semalam jadi. Rovicky dan Mba Dina harus konsisten bercerita dalam bahasa publik secara berkala selama beberapa tahun. Tidak jarang, mereka juga harus mendapatkan tuduhan yang menyayat hati dari netizen yang terjerat pengetahuan semu. Bila berhasil melewati ini, mereka akan menjadi referensi publik dalam bidangnya masing-masing.
Blog sendiri memiliki banyak keunggulan dibandingkan ruang di surat kabar. Pertama, para intelektual bisa bebas menulis sebanyak-banyaknya, tanpa terkendala ruang dan antrian terbit. Kedua, mereka bisa menulis dengan bahasa yang populer, gaya yang santai, dan topik yang beragam. Ketiga, mereka bisa berinteraksi dan berdiskusi dengan publik tentang isu-isu aktual secara intens. Bagaimana pun, diskusi yang sehat membantu para intelektual untuk merumuskan asupan pengetahuan yang tepat bagi publik.
Keengganan para intelektual untuk bercerita di blog akan memperbesar peluang hadirnya para intelektual selebritis. Bagaimana pun, jagad blog bisa mengangkat siapa pun ke permukaan, termasuk para intelektual selebritis dan produsen hoax. Ketika mereka merajai narasi-narasi pengetahuan di jagad maya, akibatnya akan sangat buruk bagi intelektualitas publik, bahkan lebih jauh lagi: demokrasi.
"Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik," demikian pepatah populer Anies Baswedan kala menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Hal yang sama juga berlaku bagi para intelektual yang memiliki tanggung jawab untuk mengangkat intelektualitas masyarakat. Bila sadar dengan tanggung jawab ini, tidak ada alasan lagi untuk menunda ngeblog dan mulai membangun publik intelek.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H