Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Cara Ekstrim Menghabiskan Malam di Ibu Kota

20 Desember 2018   13:36 Diperbarui: 20 Desember 2018   13:38 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Pernah kemaleman di Jakarta kemudian kehabisan kendaraan untuk pulang ke rumah? Atau besok masih ada agenda di Mamah Kota, tetapi tidak memiliki tempat menginap karena saku yang semakin dangkal? Saya pernah ada di kedua posisi tersebut. Kala itu, cuman dua cara ini yang terpikirkan oleh saya. Dan dalam beberapa kesempatan, saya berhasil melaluinya. Tidak baik, tetapi juga tidak buruk.

Cara pertama, saya memilih untuk menginap di restoran 24 jam yang ada di ibu kota. Di wilayah pusat, kita bisa dengan mudah menemukannya di bilangan Sarinah, Jakarta Pusat. Di pusat perbelanjaan tersebut, setidaknya ada empat restoran yang buka dari pagi hingga pagi lagi. Saya sendiri pernah menyempatkan bermalam di salah satunya.

Menghabiskan malam di tempat ini memang mensyaratkan kita untuk memesan makanan atau minuman. Sebenarnya, tidak masalah juga bila kita hanya satu kali memesan makan atau minuman hingga fajar menjelang. Hanya saja, secara etika, cara ini kurang baik. Toh, niat mereka membuka restoran hingga 24 jam pun untuk memberikan pelayanan sekaligus mendapatkan keuntungan.

Ada baiknya, kita memang memesan makanan atau minuman kembali ketika santapan di hadapan kita sudah habis. Atau, bila memungkinkan, idealnya kita memesan kembali makanan dan atau minuman setelah kita melewati waktu dua jam di tempat tersebut.

Bila kita termasuk orang-orang yang memegang prinsip tersebut, barangkali, total biaya yang kita keluarkan semalaman di restoran 24 jam tersebut sama dengan biaya sebuah kasur di hotel kapsul. Kelebihannya, tentu saja hotel kapsul bisa menawarkan waktu istirahat yang lebih baik dibandingkan sebuah kursi di restoran 24 jam.

Saya pribadi pernah mencicipi cara ini. Kala itu, saya memang belum mengenal keberadaan hotel kapsul. Awalnya, cukup excited juga dengan cara ini. Lama kelamaan, saya mulai menemukan titik lemahnya. Saya tidak mampu tidur ketika berada di kursi restoran. Dampaknya, saya sulit berkonsentrasi dan penuh rasa kantuk pada siang harinya.

Cara kedua, dan ini yang menurut saya lebih ekstrim dari cara pertama, menghabiskan malam di layanan bus TransJakarta. Entah sudah berapa lama, Transjakarta memiliki rute tengah malam. Sampai saat ini, ada 11 rute tengah malam beroperasi dari jam 12 malam hingga 5 pagi. Lebih detailnya, silahkan cek di Trafi atau situs TransJakarta. Rute ini diawali dengan huruf M yang diikuti dengan kode angka koridor utamanya.

Kita bisa memilih untuk menghabiskan malam di halte 24 jam, atau juga di dalam bus TransJakarta. Bila kita memilih halte 24 jam, kunci utama bertahan di tempat ini adalah terjaga hingga pagi hari. Begitu kita mencoba memejamkan mata, petugas keamanan akan langsung menghampiri dan menepukan tangannya ke pundak kita.

Hal ini akan sangat berbeda bila kita memilih untuk berada di dalam bus. Kita boleh memejamkan mata dari halte paling awal hingga paling ujung. Bila sudah sampai di halte tujuan, petugas di dalam bus akan membangunkan kita untuk segera turun. Meskipun kita bisa tidur di tempat ini, hanya saja, saya tidak pernah bisa nyenyak tidur di dalam bus. Selain dingin, goyangan di dalam bus kerap membuat kepala saya terantuk. Hasilnya, pada pagi hari, mata saya masih saja terasa berat, kendati sudah mencoba tidur di dalam bus.

Banyak teman-teman yang menyarankan untuk beristirahat di mushola atau masjid terdekat. Hanya saja, saya tidak pernah mampu bisa tidur di tempat ibadah. Pertimbangan pertama dan utama, karena itu adalah tempat untuk beribadah, bukan tempat untuk tidur. Kedua, faktor keamanan sering menjadi tantangan. Ketika kita terlelap tidur, bisa saja ada orang-orang yang iseng mengambil barang berharga kita.

Ketiga, faktor keikhlasan pengelola masjid atau rumah ibadah tersebut. Seringkali, mereka enggan ada orang yang menginap di tempatnya. Alasannya banyak. Dan saya tentunya lebih menghargai peraturan mereka dibandingkan kesukaran saya untuk mendapatkan tempat menginap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun