Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mainkan Kemudinya, Arungi Kehidupannya

20 Januari 2016   03:10 Diperbarui: 20 Januari 2016   03:10 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masyarakat kepulauan di Indonesia Timur mengenali alamnya melalui dua musim. Berbeda dengan masyarakat daratan Indonesia yang mengenal Musim Hujan dan Kemarau, di sini masyarakat menyebutnya sebagai Musim Angin Barat dan Musim Angin Timur. Tak terkecuali di Pulau Warmar, pulau paling barat di Kepulauan Aru, Maluku.

Musim Angin Timur bagi masyarakat Pulau Warmar adalah waktu tenang. Musim ini ditandai dengan angin sepoi-sepoi dan ombak yang tenang. Sesuai namanya, angin ini berhembus dari arah timur dan terjadi selama bulan Mei hingga akhir Oktober setiap tahunnya.

Sedangkan Musim Angin Barat terjadi sejak awal Nopember hingga April setiap tahunnya. Sesuai namanya, angin ini berhembus dari arah barat yang ditandai dengan hembusan angin kencang disertai gelombak ombak yang tinggi. Saat Musim Angin Barat, masyarakat Pulau Warmar umumnya meningkatkan kewaspadaannya, khususnya di lautan. Pasalnya, mereka banyak menggunakan moda transportasi laut berupa kapal dan perahu.

Tinggi ombak di perairan sekitar Kepulauan Aru bisa mencapai tiga meter. Tentunya, ini menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Pulau Warmar yang terbiasa menggunakan perahu Ketingting. Perahu kayu selebar 2 meter dan panjang tidak sampai 10 meter ini sangat mudah dikaramkan ombak tinggi.

“(Pengemudi kapal) harus pintar-pintar memainkan kemudi,” ungkap Tobias Gaylagoy, guru di salah satu SMP Negeri di Pulau Warmar. Menurutnya, pengemudi kapal bisa memacu perahunya ketika ombak landai. Namun, ketika gelombang tinggi, perahu harus mengikuti laju ombak. Bahkan, harus mematikan mesinnya. “Bila tidak, perahu bisa terguling, dan karam,” tandasnya.

Hal yang sama juga berlaku bagi perahu bermesin. Speed boat julukannya dengan mesin mencapai 65 ribu PK dan mampu dipacu hingga kecepatan 50-100 Kilometer per jam. Perahu yang umumnya terbuat dari serat fiber ini melaju di atas ombak. Meskipun demikian, ketika ombak besar, perahu ini harus tetap memelan. “Bila memaksakan diri, perahu (speedboat) bisa pecah,” komentar Tobi, singkat.

Rasanya, menjalani hidup pun sama seperti menjalankan perahu. Hidup ini ibarat lautan lepas, sedangkan manusia mengarunginya menggunakan perahu kehidupan. Sosok manusia sebagai juru mudi harus pandai-pandai mengikuti lantunan ombak kehidupan. Bila terlalu ambisius tanpa mengindahkan tinggi ombak, perahunya bisa pecah dan manusia tenggelam dalam lautan kehidupan. Mereka yang mampu mengatur ritme hidupnya lah mampu selamat dari terjangan ombak dan mencapai tujuannya.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun