Pemandangan yang sama saya dapati ketika mengunjungi sentra souvenir di Dili, Timor Leste. Gil dengan sigap menunjuk seorang lelaki beruban sebagian masuk ke mobilnya yang berwarna putih. Pria berkemeja itu menyetir seorang diri, yang membuatnya biasa saja di mata saya. “Dia itu dulunya Menteri Pendidikan Timor Leste,” bisik Gil, kepada saya. Fakta baru itu membuat lelaki tersebut menjadi istimewa di mata saya, dan saya pun berusaha mencarinya. Sayangnya, dia sudah berlalu dengan mobil Land Rover tuanya tersebut.
Kisah ini memang sangat bertolak-belakang dengan keadaan di Indonesia. Di sini, sekelas ibu wakil presiden pun harus dikawal oleh serombongan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Bahkan, ketika rombongan ibu-ibu pejabat menemani ibu wakil presiden ini berbelanja di bilangan Dago, Bandung, pada hari kerja siang bolong beberapa waktu lalu, jalan tersebut sampai ditutup untuk publik. Imbasnya adalah memperparah kemacetan Bandung yang sudah juara macet.
***
Deburan ombak Dili kembali membangunkan saya dari peraduan. Setelah tiga hari berada di Dili, siang harinya saya harus pamit dan pulang ke Bandung. Sebelum mengantarkan saya ke bandara, Gil mengajak saya untuk menengok aktivitas kursus jurnalistik yang diampunya. Kursus ini sudah secara rutin digelar oleh Gil dan kawan-kawan CJITL (Centru Jornalista Investigativu Timor Leste).
Peserta kursus ini adalah mahasiswa di Dili yang memang bercita-cita untuk menjadi jurnalis setelah lulus. Umumnya, mereka berasal dari jurusan non-komunikasi. Tampaknya, setelah duduk di bangku kuliah, minat terhadap jurnalistik tumbuh, dan terpacu untuk menggapainya, salah satunya dengan mengikuti pelatihan jurnalistik.
Gil meminta saya menyampaikan pesan-pesan untuk mereka terkait jurnalisme. Meskipun Bahasa Indonesia mereka pas-pasan, tampaknya mereka memahami penjelasan yang saya paparkan. “Mereka paham Bahasa Indonesia, tetapi tidak pandai mengucapkannya,” ungkap Gil, kepada saya.
Meskipun begitu, kendala ini tidak menghalangi kami untuk berdiskusi. Dalam sesi tanya jawab, mereka menyampaikan pertanyaannya menggunakan Bahasa Tetum yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh salah seorang staf CJITL, untuk kemudian saya jawab.
Umumnya, para mahasiswa ini menanyakan perihal teknik-teknik dalam melakukan kegiatan jurnalistik, seperti menulis, wawancara, dan reportase. Juga mereka ingin mengetahui lebih dalam perihal peran jurnalisme untuk meningkatkan kehidupan di Timor Leste pada masa yang akan datang. Saya juga diminta oleh Gil untuk memberikan motivasi kepada mereka untuk mulai membangun karyanya sebagai bentuk kontribusi terhadap Timor Leste.
***
Menjelang tengah hari, Gil dan Cheche mengantarkan saya ke bandara. Sebelumnya, kami mengunjungi pasar souvenir di Dili. Berbagai aksesoris khas Timor Leste tersaji di pasar tersebut. Sayangnya, saya lebih tertarik untuk mencari kopi khas Timor Leste di Dili. Pasalnya, Kopi Negeri Lorosae merupakan salah satu yang terbaik di dunia, dan menjadi komoditas ekspor negeri tersebut. Kabarnya, perusahaan kopi ternama dunia Starbuck merupakan salah satu pengguna setia kopi Timor Leste.
Gil kemudian mencari akal untuk memenuhi permintaan tersebut. Saya baru tahu bahwa Gil bukan tipikal penikmat kopi. Saya pun demikian dulu. Namun, semua itu berubah ketika teman-teman saya kerap menggunakan dapur di kontrakan sebelumnya untuk bereksperimen dengan kopi. Hasilnya, saya sekarang penyuka kopi, meskipun levelnya masih wajar dan tidak sampai menggilai.