Pernahkah anda bertanya, 'Setelah semua nikmat yang saya terima, rezeki, pekerjaan, jodoh, mengapa saya masih merasa kurang bahagia? atau setidaknya tetap gelisah'.Â
Kalau pernah, mungkin anda perlu membaca Sapiens. Kalau anda merasa tidak memiliki waktu untuk membaca bukunya, mungkin anda perlu membaca artikel ini.
Dari mana asal bahagia? Kapan kita merasa bahagia? Bagaimana cara agar kita tetap bahagia?
Sapiens menjabarkan arti kebahagiaan dari sudut pandang biologi dan psikologi.
Sarjana Biologi menjelaskan bahwa kebahagiaan adalah rasa yang timbul dari bekerjanya sistem biologis yang terdiri dari saraf, neuron, sinapsis dan sekresi hormon yang menghasilkan rasa senang seperti serotonin, oksitosin dan dopamin.Â
Bukan karena parameter eksternal dari luar tubuh, seperti memenangkan give away sepatu lari Nike, mendapatkan ratusan like Instagram atau menyelesaikan utang bank. Melainkan berasal hanya dari reaksi bio-kimia di dalam tubuh manusia. Sesederhana itu.
Lebih lanjut mereka menjelaskan, seorang individu memiliki rata-rata kadar kebahagiaan tertentu, disebut dengan level of happiness (LoH). Berbeda antar satu individu dengan yang lain. Kebahagiaannya akan cenderung bergerak menuju level tersebut.
Ibarat air conditioner (AC): dirancang untuk mengondisikan temperatur ruangan saat terlalu panas maupun saat terlalu dingin. Menuju tingkat temperatur tertentu.Â
Begitupun dengan kebahagiaan atau rasa senang. Manusia tidak pernah merasa senang sekali sepanjang waktu. Justru rasa senang yang berlebihan akan diiringi oleh rasa tidak senang. Untuk mengembalikan LoH.Â
Misal, Budi mendapatkan ratusan like di Instagram untuk posting-annya bersama Hotman Paris di Kopi Johny. Setelah jumlah like nya tidak lagi bertambah, rasa senang Budi akan bertahan paling lama beberapa jam. Keesokan harinya, Budi justru merasa gelisah (anxious) memikirkan bagaimana caranya mendapat like lebih banyak atau setidaknya menyamai posting-an terakhirnya.
Para ahli biologi berargumen bahwa kebahagiaan hanya berasal dari reaksi kimia di dalam tubuh. Namun pandangan ini menimbulkan pertanyaan. Kondisi apa yang menyebabkan kadar serotonin seseorang meningkat? Kondisi eksternal apa yang menyebabkan seseorang bahagia? Misal, apakah orang yang sudah menikah memiliki tingkat kebahagiaan lebih tinggi dari yang belum? Atau apakah masyarakat negara maju lebih bahagia dibanding masyarakat negara berkembang?