Di tengah bangkitnya kesadaran republik ini melawan korupsi, kita dihadapkan pada sikap partai politik (parpol) yang makin tak terarah. Mekanisme penjaringan calon di semua tingkatan cenderung transaksional. Alih-alih membumikan komitmen anti korupsi, parpol justru memperdagangkan tiket menuju kursi kekuasaan.
Lihat misalnya pengusungan Maphilinda Syahrial Oesman, sebagai calon wakil gubernur Sumsel mendampingi Herman Deru. Perempuan berusia 49 tahun ini merupakan istri mantan narapidana kasus korupsi bekas Gubernur Sumsel, Syahrial Oesman. Meski begitu, ia tetap diusung serta didukung oleh 23 parpol, di antaranya Gerindra, Hanura, PKB dan PPP.
Bisa ditebak, kenapa begitu banyak parpol yang dirangkul. Selain untuk kepentingan elektoral, tujuan utamanya ialah mendapat tiket pencalonan. Partai tersebut “dibeli” dengan harga sangat mahal. Angkanya fantastis hingga mencapai puluhan milyar rupiah. Ini sudah lazim diketahui di setiap ajang kontestasi pemilukada.
Lalu kenapa harus Maphilinda? Kenapa tidak tokoh lain yang lebih potensial, lebih populer, dan tingkat elektabilitasnya lebih tinggi? Jawabnya sederhana, bahwa di belakang Maphilinda ada Syahrial Oesman yang punya kekuatan modal begitu besar. Ia salah satu penguasa terbesar batubara di Sumsel pasca menjadi gubernur.
Konon, Syahrial akan melakukan segala cara untuk memenangkan pasangan DerMa (sebutan singkat pasangan) dan mengalahkan Alex Noerdin. Pasalnya, ia ingin balas dendam atas kekalahannya terdahulu saat pemilihan gubernur (Pilgub) 2008.
Apalagi, selama kepemimpinan Alex Noerdin, ia tak begitu leluasa “bermain” bisnis batubara. Sebab, pemerintah daerah melalui peraturan gubernur menetapkan beberapa ketentuan. Termasuk aturan itu ialah melarang angkutan batubara melewati jalan umum, sehingga perusahaan/pengusaha harus membuat jalan sendiri.
Yang dapat kita garisbawahi dari rangkaian fenomena di atas adalah: pertama, praktik transaksional parpol sebenarnya antitesa dari pemberantasan korupsi. Partai kemudian beralih fungsi dari mesin aspirasi rakyat ke mesin pencari uang. Akibatnya, wajar jika persaingan partai saat ini tidak sehat lagi. Sebab yang diburu hanyalah kekuasaan dan uang.
Kedua, pencalonan keluarga narapidana kasus korupsi akan semakin menyuburkan korupsi. Kita sulit mengatakan bahwa Syahrial dan Maphilinda punya mimpi dan pergulatan yang beda. Pada beberapa hal, keduanya sudah pasti sering berkolaborasi, saling mengetahui, dan sama-sama menikmati.
Kolaborasi itu akan terus berlanjut jika nanti istrinya berhasil merebut kursi kekuasaan. Apalagi sebagian besar ongkos politiknya selama ini dibiayai Syahrial, maka akan terjadi konklomerasi kekuasaan besar-besaran. Bisa jadi sudah ada deal sebelumnya, dengan pembiayaan itu 90 persen kekuasaan dikendalikan Syahrial. Kantong berisi sumber kekayaan rakyat pasti dikuras untuk kesejahteraan diri dan keluarganya.
Oleh karena itu, semestinya rakyat memberi hukuman moral pada koruptor dan kroninya. Hukuman bisa berbentuk pengasingan, memberi stereotip “keluarga koruptor” atau tidak memilihnya di ajang pemilihan mana pun, eksekutif maupun legislatif. Kalau perlu, harus ada anjuran bersama (lewat organisasi sosial atau lembaga keagamaan semisal MUI) untuk memberi fatwa “haram” memilih keluarga koruptor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H