Masih segar dalam ingatan, bahwa pada hari Minggu 21 April 2013 semua calon gubernur dan wakil gubernur Sumsel melakukan ikrar pemilu damai. Isinya, semua sepakat mengikuti pemilukada dengan damai serta sepakat untuk siap menang dan siap kalah.
Masyarakat Sumsel pun senang melihat calon pemimpinnya bersikap ksatria. Tak ada tanda-tanda saling benci. Masing-masing justru bangga dengan dukungannya. Aura optimisme nampak nyata dalam senyum persaudaraan antar sesama.
Namun sayang, sikap ksatria itu ternyata palsu. Ikrar yang diucap sekadar pemanis bibir saja. Berikrar bukan lantaran berjiwa besar, melainkan karena ingin tampak perkasa di depan layar.
Terbukti, beberapa detik setelah pemilihan—saat pasangan nomor 4 dinyatakan menang menurut hitungan cepat (quick count)—banyak pasangan teriak ingin menggugat ke MK. Mereka murtad dari kebenaran bahwa “suara rakyat adalah Tuhan”.
Benar saja. Seminggu setelah KPU resmi mengumumkan hasil rekapitulasi suara, dua pasangan mendaftarkan gugatannya. Tak peduli ikrar suci yang dulu diucap, berbagai kasus direkayasa seolah pelanggaran dilakukan oleh pasangan nomor 4. Fitnah dan tuduhan dilayangkan dengan harapan dapat mengelabuhi masyarakat terutama para hakim MK.
Upaya mereka berhasil. MK termakan fitnah dengan menerima sebagian gugatan agar dilakukan pemilihan ulang. Dalam amar putusannya, MK meminta KPU melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh TPS Kabupaten Ogan Komiring Ulu Timur (OKUT), Ogan Komiring Ulu (OKU), Kota Pramumulih, Kota Palembang, dan seluruh TPS di Kecamatan Warkuk Ranau SelatanKabupaten Ogan Komiring Ulu Selatan.
Anehnya, wilayah tersebut adalah wilayah di mana pasangan nomor 4 kalah. Wilayah di mana lawan mendulang keunggulan tinggi, bahkan hingga 82 persen seperti di Kabupaten OKUT.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin pasangan nomor 4 curang di OKUT sementara perolehan suaranya kosong di banyak TPS? Bagaimana mungkin nomor 4 melakukan pelanggaran jika bergerak sedikit saja diancam begitu rupa? Jika bukan karena rekayasa, akal sehat mustahil menerimanya.
Nafsu Serakah
Pemimpin ksatria anti menjilat ludah sendiri, melanggar ikrar suci di hadapan rakyat dan Tuhan. Rasa malu dan kehormatan diri menjadi benteng pertaruhan. Biar kalah asal terhormat, menang pun harus dengan terhormat.
Tapi kali ini, yang dihadapi adalah pecundang yang menyimpan segudang angkara kuasa. Meski sumpah setia sudah diucap, segala cara tetap dilakukan untuk meraih kekuasaan. Pembusukan terhadap lawan terus disebar dengan melayangkan tuduhan-tuduhan tak mendasar.
Akibatnya, jutaan rakyat menjadi korban. Energi yang seharusnya difokuskan untuk kemajuan pembangunan terganggu karena pemungutan suara ulang. Padahal sejatinya, masyarakat Sumsel saat ini tinggal menanti kelanjutan pembangunan yang jauh hari sudah direncanakan.
Tidak hanya itu, kekayaan rakyat Sumsel juga terkuras. Betapa tidak, untuk melaksanakan pemungutan suara ulang KPU butuh biaya sebesar 50 milyar. Belum lagi ditambah biaya pemilihan sebelumnya yang mencapi 94 milyar. Jika dikalkulasi, uang rakyat yang dihabiskan kurang lebih 150 milyar.
Bisa dibayangkan, uang sebanyak itu terpaksa dikeluarkan untuk memenuhi nafsu serakah segelintir orang saja. Padahal akan lebih bermanfaat jika, misalnya, digunakan untuk membiayai pendidikan dan kesehatan rakyat.
Entah apa yang ada di benak calon pemimpin bermental demikian. Logika sederhananya, baru menjadi calon saja sudah merugikan rakyat, bagaimana nanti bila benar-benar jadi pemimpin? Tentu akan labih banyak lagi uang rakyat yang akan dikuras habis-habisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H