Mohon tunggu...
Yudha Firmansyah
Yudha Firmansyah Mohon Tunggu... -

Konsen di Lembaga Kajian Pancasila dan Pilar Kebangsaan (LKPPK), Lembaga Pengembangan Otonomi Daerah (LPOD), Penikmat kopi Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tuntutan Kepemimpinan Nasional

13 Maret 2013   16:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:50 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Krisis kepemimpinan menjadi salah satu persoalan mendasar bangsa Indonesia saat ini. Kurang lebih satu dekade, mayoritas pemimpin yang tampil ke permukaan gagal merepresentasikan cita-cita reformasi. Berbagai indikasi seperti minimnya visi kebangsaan, pudarnya rasa tanggung jawab, maraknya kasus pelanggaran hukum dan praktik asusila jadi bukti tak terbantahkan.

Fenomena tersebut hampir merata di semua tingkat kepemimpinan mulai pusat hingga daerah. Bahkan pemimpin yang mengusung serta lahir dari rahim reformasi pun mengalami nasib serupa. Masih segar di ingatan kita sejumlah politisi nasional yang terjerat korupsi, baik berlatar partai nasionalis maupun religius-islamis. Sedang di daerah, kasus mutakhir yang menghentakkan perhatian adalah dilaporkannya Bupati Ogan Komering Ulu Timur (OKUT), Herman Deru, atas tindakan asusila.

Herman dilaporkan ke Mapolda Sumatera Selatan (Sumsel) oleh mantan pembantunya lantaran tidak mau mengakui status anaknya, hasil hubungan gelap di luar nikah. Laporan bernomor LP 165/III/2013/Sumsel tanggal 11 Maret itu merupakan tamparan keras yang menambah catatan buruk kepemimpinan daerah. Kasus Herman mengiringi kasus mantan Bupati Garut, Aceng Fikri, yang dinilai melecehkan perempuan sehingga dipecat dari jabatan.

Akankah Herman bernasib sama dengan Aceng Fikri? Hasil pemeriksaan dan penyelidikan yang menentukannya. Jika benar terbukti, maka jabatan serta karir politik Herman dipastikan berakhir. Ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan peraturan lain yang mengikat.

Namun, sebagai catatan, delik aduan semacam itu sukar dibantah karena mengandung konsekuensi hukum cukup berat. Sang pelapor sangat kecil kemungkinan merekayasa cerita dalam bentuk fitnah tak mendasar. Di bawah kuasa hukumnya, pelapor pasti sadar akibat hukum apa saja yang didapat bila terbukti membuat laporan palsu. Apalagi, objek aduan menyasar orang nomor satu OKUT. Maka cepat atau lambat kebenaran akan terkuak.

Pemimpin Massa

Terlepas dari spekulasi masalah hukum, kenyataan di atas menunjukkan bahwa realitas kepemimpinan nasional belum sepenuhnya berubah dari potret buram Orde Baru. Pemimpin tetap bermental korup dan lebih mendahulukan kepentingan pribadi. Lingkaran kepentingan terangkum secara laten dalam tiga term: harta, tahta, dan wanita. Term yang sudah lama kita kenal ini seolah-olah abadi sepanjang masa.

Padahal semestinya, dengan diterapkannya sistem demokrasi langsung, kemungkinan lahirnya pemimpin berkualitas sangat besar. Rakyat bisa memilih calon pemimpin sesuai dengan yang dikehendaki. Tak peduli keturunan raja atau rakyat jelata, setiap warga negara punya hak untuk memilih dan dipilih. Kekuatan sekaligus kelebihan demokrasi langsung terletak pada kehendak rakyat dalam suatu ikatan kontraktual.

Namun demikian, sebagai sistem yang mengedepankan kehendak rakyat, demokrasi tidak bisa berjalan begitu saja. Keberadaannya perlu dikawal agar tidak terciderai praktik-praktik non-demokratis. Praktik politik seperti money politic, intimidasi hak pemilih, pengurangan atau pengelembungan suara, termasuk pembodohan pemilih dengan embel-embel tertentu harus dieleminasi.

Selain merugikan demokrasi, praktik semacam itu juga potensial melahirkan pemimpin di luar idealitas bersama. Yakni, pemimpin yang dipilih bukan karena pandangan visioner atau integritas, melainkan karena lihai memainkan propaganda serta punya kekuatan modal membeli suara. Pemimpin model ini lebih tepat disebut “pemimpin massa”.

Tipologi pemimpin massa tidak punya visi kebangsaan yang mengakar. Suara rakyat hanya dianggap bungkusan produk murahan belaka. Prinsipnya, setelah suara dibeli maka tidak ada kewajiban apapun yang harus diperjuangkan. Terminologi “rakyat” digeser ke posisi “massa” untuk melegitimasi kekuasaan. Sedangkan massa tidak lain adalah sekumpulan orang yang sengaja dikondisikan tanpa kebajikan murni berjangka panjang.

Sosok Negarawan

Berbeda dengan pemimpin massa, tipologi negarawan lebih mengutamakan kepentingan rakyat keseluruhan. Sosok ini mampu berdiri di tengah perbedaan serta menjadi pemersatu semua kalangan. Keberanian menentang hasrat segelintir orang, termasuk hasrat pribadi, senantiasa melekat dalam setiap keadaan. Baginya, kekuasaan merupakan panggilan tugas dan tanggung jawab kepemimpinan sebagai wujud pengabdian.

Di zaman dahulu, pemimpin dengan sosok negarawan terdapat pada figur Soekarno dan Hatta. Dengan keahlian masing-masing, kedua pemimpin ini berhasil mengisi pos kenegaraan sesuai tuntutan dasar kebangsaan. Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia membagi kepemimpinan—di masa kemerdekaan dan sesudah revolusi—ke dalam dua tipe: solidarity maker dan problem solver. Tipikal pertama melekat pada sosok Soekarno (Soekarnoisme), sedang kedua pada Hatta (Hattaisme).

Solidarity maker dijabarkan Feith sebagai “… the leadership of revolution, however, were men of skill of another type. The revolution needed leaders with may be called integrative skill, skill in culture mediation, symbol manipulation, and mass organization… These person we shall call them ‘solidarity makers’”. Sedang tipikal problem solver dijelaskan sebagai “… for people we shall call ‘administrator’, men with administrative, legal, technical, and foreign language skills, such required for running of modern state”.

Meski tipologi kepemimpinan tersebut dibuat Feith pada tahun 60an, keduanya tetap dibutuhkan di era sekarang. Berbagai persoalan bangsa menuntut hadirnya pemimpin demikian, sehingga solidaritas nasional semakin kuat dan masalah teknis-administratif pemerintahan teratasi.

Tentu saja, pemimpin dengan sosok negarawan mesti memiliki integritas moral. Sebab, posisi dirinya bukan sebatas pejabat, melainkan sebagai teladan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sosok inilah yang kita harapkan dengan terus membuka ruang bagi lahirnya pemimpin baru sembari mengapresiasi prestasi pemimpin yang sudah ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun