Perjanjian utang piutang adalah hal yang umum dilakukan oleh masyarakat Indonesia, dari sisi nilai nya variatif mulai dari skala yang kecil maupun yang besar.Dalam hukum positif Indonesia perjanjian Utang Piutang dimuat dalam ketentuan pasal 1754 sampai dengan 1769 KUH Perdata.Namun dalam KUHPerdata sendiri perjanjian utang piutang dimaknai sebagai perbuatan Pinjam-meminjam atau Pinjam Pakai Habis, menurut hukum definisi dari utang piutang adalah “suatu perjanjian yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama”.Praktik ini menjadi kegiatan yang dilakukan oleh subjek hukum (baik orang perorangan maupun badan hukum) dalam mendukung perkembangan usaha atapun perekonomian.
Dalam perjanjian utang piutang secara prinsipnya juga berdasarkan pada ketentuan pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sah nya perjanjian yaitu adanya kesepakatan para pihak, pihak-pihak yang cakap, suatu hal tertentu dan sebab yang halal atau kausa yang tidak terlarang.Perjanjian utang piutang pula tidak jarang di dalamnya terdapat ketentuan suatu jaminan yang disepakati contoh nya tanah, fungsi jaminan tersebut apabila yang meminjam uang (debitor) tidak dapat memenuhi prestasi, dan yang memberikan utang (kreditor) memiliki dasar sementara atas objek jaminan tersebut dengan maksud mengganti prestasi yang tidak dipenuhi oleh debitur.Para pihak dalam menyepakati klausula terkait dengan jaminan hendak nya harus cermat dan hati-hati, jangan sampai kesepakatan tersebut mengandung klausula Milik Beding yang bertentangan dengan keadilan dan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Milik Beding dapat dipahami yaitu memiliki secara langsung objek jaminan yang telah dijaminkan dalam perjanjian utang piutang yang telah disepakati, hal ini berdasarkan ketentuan hukum Indonesia dilarang, karena merupakan praktik eksekutorial yang sepihak atau main hakim sendiri yang dilakukan oleh kreditor dalam mengambil-alih hak kepemilikan atas tanah debitor, secara subtansial praktik atas klausul ini berpotensi merugikan salah satu pihak dan menimbulkan ketidakadilan, sebab pada umum nya objek jaminan berupa tanah nilai nya selalu bertambah dan hasil dari penjualan tanah tersebut boleh jadi lebih tinggi dari utang berikut bunga yang menjadi utang bagi debitor, hal ini pula bertentangan dengan asas hukum Nemo Judex In Causa sua” yaitu larangan memutus hal yang berkaitan dengan kepentingan diri sendiri.Disamping ketentuan hukum yang melarang klausul dan praktik Milik Beding disebutkan dalam pasal 1154 KUH Perdata yang berbunyi “Dalam hal debitur atau pemberi gadai tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban, kreditur tidak diperkenankan mengalihkan barang yang digadaikan itu menjadi miliknya.Segala persyaratan perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini adalah batal.Hal serupa juga ditegaskan di dalam rezim hukum jaminan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 12 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah, yang berbunyi “Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum. Dalam praktiknya sudah beberapa Yurisprudensi yang memiliki kekuatan hukum tetap atau Inkrah membatalkan klausula Milik Beding dalam perjanjian beberapa diantaranya yaitu Putusan Nomor 732 K/Pdt/2012 tanggal 27 Desember 2012, Putusan Mahkamah Agung Nomor 997 K/Pdt/2014 tanggal 11 Agustus 2014, dan Putusan Makhamah Agung RI No.2182 K/Pdt/2019 tanggal 26 Agustus 2019. Berdasarkan norma hukum dan ketentuan yang ada sudah jelas bahwa perjanjian dengan jaminan atas tanah yang memuat klausula Milik Beding bertentangan dengan hukum di Indonesia, dan akibat hukum nya perjanjian tersebut sejak awal dapat batal demi hukum .
Solusi atas permasalahan hukum diatas dapat dimitigasi dari sejak awal yaitu pada tahap pra-kontraktual, dengan mencermati tiap klausula yang ditulis hal ini dapat meminta bantuan dampingan praktisi hukum dalam membuat perjanjian nya, kalau ternyata sudah terlanjur dibuat nya perjanjian dan debitor wanprestasi terhadap prestasi nya, terhadap objek jaminan nya dapat dilakukan beberapa upaya hukum yang tersedia, dalam upaya mengembalikan hak kreditor secara adil dan sesuai dengan ketentuan hukum di Indonesia, seperti melalui mekanisme proses litigasi berupa gugatan keperdataan ataupun permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan untuk dilakukan lelang umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H