Siang itu, tepatnya Hari Jumat, 10 Januari 2025, suasana cukup panas menyelimuti kota Jakarta. Matahari bersinar terik di atas langit, memancarkan sinarnya yang terasa membakar kulit. Namun, sesekali angin semilir berhembus, membawa sedikit kesejukan yang menenangkan. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.40 WIB, menandakan sebentar lagi waktu shalat Jumat tiba. Saya langsung segera bergegas menuju mushola kantor untuk mengambil wudhu. Aroma khas karbol dari lantai mushola menyatu dengan udara sejuk dari pendingin ruangan, menciptakan suasana tenang yang cocok untuk beribadah.
Setelah selesai mengambil wudhu, saya langsung menuju lift kantor, tempat teman-teman kantor saya, yakni Ketut, Aldi, Bagas, dan Kiki, sudah menunggu. Kami semua tampak tergesa-gesa karena tidak ingin terlambat sampai di masjid. Ketut, yang selalu membawa tas kecilnya, bercanda bahwa dia takut kehabisan tempat duduk di masjid jika terlalu lama menunggu.
Ketika pintu lift terbuka, kami berlima segera masuk. Aldi, yang biasanya usil, dengan sengaja menekan beberapa tombol lantai sebelum akhirnya menekan tombol "L" untuk Lobby. "Biar sekalian olahraga jari," ujarnya, yang langsung disambut tawa kami semua. Perjalanan lift ke lantai dasar terasa begitu singkat, mungkin karena kami sibuk bercanda sepanjang perjalanan.
Setibanya di lantai lobby, kami berlima berjalan cepat menuju pintu akses keluar kantor. Udara panas langsung menyambut begitu kami melangkahkan kaki keluar gedung. Namun, kami tidak terlalu memperdulikannya karena tujuan kami adalah Masjid Al-Ghofur, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor. Sepanjang perjalanan, kami berbincang ringan sambil sesekali mengelap keringat yang mulai mengalir di wajah.
Setelah tiba di masjid, kami segera mengambil tempat di saf-saf yang masih tersedia. Masjid Al-Ghofur yang luas mulai dipenuhi jamaah yang datang dari berbagai tempat. Khatib memulai khutbahnya dengan suara lantang dan penuh semangat, mengingatkan kami semua akan pentingnya meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Khutbah tersebut menyentuh hati, membuat suasana masjid menjadi khusyuk.
Usai melaksanakan shalat Jumat berjamaah, kami berlima memutuskan untuk pergi ke warung makan langganan kami yang tidak jauh dari masjid. Warung makan sederhana itu selalu menjadi tempat pilihan karena selain makanan yang enak dan terjangkau, suasananya juga nyaman untuk berbincang sambil menikmati makan siang.
Setibanya di warung makan, kami segera memesan makanan dan minuman. Masing-masing memilih menu favoritnya, dari nasi goreng, ayam bakar, hingga soto betawi lengkap dengan segelas es teh manis. Setelah pesanan dicatat oleh pelayan, kami mencari tempat duduk yang cukup luas untuk menampung kami berlima. Kami akhirnya memilih meja di sudut yang sedikit teduh, memberikan rasa nyaman untuk bersantap dan bercengkerama.
Sambil menunggu pesanan datang, kami berlima mencari tempat duduk yang nyaman. Setelah menemukan meja yang cukup luas di sudut warung, kami duduk bersama dan mulai berbincang ringan. Topik obrolan kami beragam, mulai dari pekerjaan di kantor, rencana akhir pekan, hingga cerita lucu yang membuat kami tertawa terbahak-bahak. Kiki, yang dikenal sebagai "pelawak kelompok," tidak henti-hentinya melontarkan lelucon yang membuat suasana menjadi semakin meriah.
Di sela-sela obrolan, saya mengambil gadget pribadi saya dari kantong saku celana. Saya melihat ada beberapa notifikasi pesan WhatsApp yang masuk. Saya segera membuka dan membalas pesan-pesan tersebut satu per satu, memastikan tidak ada pesan penting yang terlewat. Setelah selesai, saya membuka browser aplikasi berita untuk melihat informasi terbaru.
Saat sedang menggulir layar, mata saya tertuju pada sebuah judul artikel yang cukup menarik perhatian saya: "Sudah 80 Tahun Jalani Makan Bergizi Gratis, Jepang Tertarik Dukung Program Prabowo." Dengan rasa penasaran, saya segera membuka artikel tersebut dan mulai membacanya dengan seksama.