Naluri manusia untuk selalu mengingat peristiwa/moment yang penting atau berulang di hidupnya. Baik itu yang menyenangkan ataupun tidak.Â
Tapi, kemudian hal yang menarik disini adalah cara kita merespons suatu peristiwa, yang kemudian hal ini mendorong kita untuk melakukan labeling (pada peristiwa) bahwa ini penting bagi hidupku, ini tidak.Â
Tak bisa kita pungkiri, hal ini berhubungan baik secara langsung ataupun tidak, dengan jarak pandang, resolusi pandang, sudut pandang, dan cara pandang kita terhadap sesuatu.
Tidak sedikit dari kita terkadang ingin recall sejenak pada memori (baca: masa lalu) yang berkesan dan menyenangkan untuk --setidaknya kembali merasakan "surgawi" pada saat itu.Â
Misal: masa kecil, masa sekolah, dsb. Kita bisa temukan pola ini berulang, ketika kita dewasa (dalam usia) kita merindukan masa kanak-kanak ketika bermain bola hingga adzan maghrib sampai berebut mengerahkan seluruh tenaga untuk mendapatkan layangan putus.
Jika tidak dapat, ada salah satu dari anak-anak ini kemudian menggunakan distributive justice sebagai senjata dengan langsung merebut layangan kemudian merobeknya. Hahaha, bajingaannn.Â
Kemudian ketika kita sudah berusia lanjut, kita merindukan masa-masa dimana kita masih fit untuk beraktivitas.
Setelah kita coba melihat pola ini, lalu muncul pertanyaan "apakah kita sebenarnya takut menghadapi masa depan? Sehingga kita lebih suka hidup dalam masa lalu. Â Atau memang untuk menghadapi masa depan harus me-recall ke masa lalu?"
Hal ini menarik jika kita coba refleksi menggunakan determinisme, dimana dalam hidup itu tidak ada yang harus.Â
Sekali lagi, tidak ada yang harus. Yang ada itu konsekuensi. Hubungan sebab-akibat. Harus melakukan apa, itu tidak ada. Yang terjadi adalah akibat dari sebab yang kita lakukan.Â
Sebenarnya poin utamanya bukan pada peristiwa penting atau tidak penting, menyenangkan atau tidak menyenangkan --yang nantinya akan menjadi ingatan kita. Melainkan bagaimana kita bisa mengambil sebuah makna dari setiap peristiwa yang terjadi.