Mohon tunggu...
Yudaningsih
Yudaningsih Mohon Tunggu... Dosen PTS di Bandung - Pemerhati Bidang Sosial, Pendidikan dan Politik

Pemerhati bidang sosial, pendidikan dan politik mengantarkan dirinya menjadi kolumnis media lokal dan nasional. Pernah mengenyam pendidikan di MTs-MA YTI Sukamerang Cibatu Garut, S1 PBA Tarbiyah IAIN SGD Bandung dan S2 Ikom Unpad. Mediator bersertifikat dari PMI MM UGM, Arbitrase Kanaka Yogyakarta juga legal drafting dari Jimly School of Law and Government Jakarta. Amanat sebagai Dosen di bbrp PTS atl: STIKOM Bdg, Institut Manajemen Telkom, APIKES Bdg, STABA (Sekolah Tinggi Analis Bhakti Asih Bandung), Fikom Universitas Sangga Buana dan Telkom University. Pernah aktif di beberapa lembaga negara atl: 2010-2012 Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) Kec Cimenyan Kab Bdg; 2013-2018 Komisioner KPU Kab Bdg; 2019-2024 Komisioner Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat. Ketua Persma Suaka IAIN SGD Bandung juga Presidium Forum Pers Mahasiswa (FPMB) Bandung 1997/1998 ini aktif juga di Dewan Pakar ICMI Orwil Jabar dan ICMI Kota Bandung, Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhamadiyah Jabar juga Majlis Pembinaan Kader Pimpinan Wilayah 'Aisyiyah Provinsi Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menyikapi Penolakan MK atas Permohonan Penghapusan Kolom Agama di KTP WNI

13 Januari 2025   18:15 Diperbarui: 13 Januari 2025   22:54 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://visi.news/mk-tolak-permohonan-pengakuan-warga-tanpa-agama-dalam-uu-adminduk/

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan dua warga negara yang mengaku tidak menganut agama dan kepercayaan tertentu, yaitu Raymond Kamil dan Teguh Sugiharto. Keduanya mempersoalkan Pasal 61 Ayat 1 dan Pasal 64 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. edua pasal yang diuji tersebut mengatur tentang ketentuan di dalam kartu keluarga (Pasal 61 Ayat 1) dan kartu tanda penduduk (Pasal 64 Ayat 1) yang mengatur tentang pemuatan kolom agama dan kepercayaan dalam dokumen kependudukan yang dimaksud. Para pemohon mendalilkan, data kependudukan seperti di dalam KK ataupun KTP seharusnya tidak perlu mencantumkan kolom agama dan kepercayaan, terutama hal itu bagi warga yang tidak ingin memeluk agama atau kepercayaan tertentu.Perkara mereka diregister dengan nomor 146/PUU-XXII/2024 (Kompas, 2/1/25).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 menegaskan ketentuan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan setiap warga negara mencantumkan agama ataupun kepercayaan yang dianutnya dalam dokumen administrasi kependudukan tidak bertentangan dengan konstitusi. Pencantuman kolom agama dan kepercayaan tersebut sesuai amanat konstitusi dan ideologi Pancasila yang menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.  Ketentuan tersebut juga menegaskan karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama ataupun bangsa yang memiliki kepercayaan terhadap Tuhan YME.

Penulis mengamati bahwasannya pencantuman kolom agama di KTP memiliki tujuan untuk memperkuat administrasi kependudukan, mendukung keberagaman, dan melindungi hak-hak warga negara. Namun, tetap perlu diimbangi dengan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan kepercayaan agar tidak menjadi alat diskriminasi.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, pencantuman kolom agama di KTP Warga Negara Indonesia (WNI) memiliki latar belakang yang kompleks, melibatkan aspek hukum, sosial, dan budaya. Berdasarkan beberapa referensi terdapat alasan tertentu tentang  pentingnya pencantuman kolom agama di KTP, yaitu:

  • Landasan hukum: Konstitusi RI Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menegaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadat menurut keyakinannya.  Serta UU Administrasi Kependudukan Pasal 58 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan mensyaratkan kolom agama pada KTP sebagai bagian dari data kependudukan. 
  • Identitas keagamaan. Kolom agama membantu mencerminkan keyakinan seseorang, yang menjadi bagian penting dari identitas personal dan budaya merekaSelain itu,  Informasi agama membantu pemerintah dan lembaga pelayanan publik, seperti pengurusan pernikahan, kematian, dan urusan keagamaan lainnya. 
  • Pengakuan keberagaman.  Dengan keberadaan enam agama resmi (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu), kolom agama menunjukkan pengakuan negara terhadap pluralisme. 
  • Aspek sosial dan administrasi. Pencantuman agama di KTP, negara dapat memastikan bahwa hak-hak keagamaan setiap individu dihormati dalam kehidupan sosial dan administratif.  Dari segi aspek sosial, informasi agama pada dokumen resmi dapat membantu mencegah kesalahpahaman atau konflik di masyarakat. 
  • Kontroversi dan opsi kepercayaan lain. Ada kritik bahwa pencantuman agama dapat memunculkan diskriminasi, terutama bagi penganut kepercayaan lokal atau yang tidak menganut agama mayoritas. Sebagai solusi, pemerintah memperbolehkan opsi “Kepercayaan” bagi mereka yang tidak mengikuti agama resmi. 

Sikap Masyarakat

https://news.espos.id/dua-warga-gugat-mk-minta-kolom-agama-di-ktp-bisa-ditulis-tidak-beragama-2016619
https://news.espos.id/dua-warga-gugat-mk-minta-kolom-agama-di-ktp-bisa-ditulis-tidak-beragama-2016619

Sikap masyarakat terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan untuk tidak mencantumkan agama di KTP Warga Negara Indonesia (WNI) beragam, tergantung pada sudut pandang hukum, sosial, agama, dan kebebasan individu. Berikut adalah gambaran respons masyarakat: 

  • Sebagian besar masyarakat mendukung putusan MK dengan alasan:  kepatuhan terhadap konstitusi, identitas keagamaan  serta penguatan nilai-nilai keberagamaan.
  • Kelompok lain menyatakan keberatan atas putusan tersebut dengan alasan:  Hak privasi dan kebebasan individu. Pencantuman agama dianggap sebagai pelanggaran privasi dan kebebasan individu, terutama bagi mereka yang tidak ingin mengungkapkan keyakinan agamanya; Diskriminasi terhadap minoritas, kolom agama dianggap dapat memperkuat diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas atau penganut kepercayaan; Ketidaksetaraan, beberapa penganut kepercayaan lokal merasa tidak setara karena dianggap tidak memiliki pengakuan yang sama dengan agama mayoritas. 
  • Respons bersikap netral atau pragmatis, berpendapat bahwa kolom agama di KTP tidak terlalu berdampak signifikan pada kehidupan sehari-hari mereka, sehingga putusan MK dianggap tidak menjadi prioritas utama. 
  • Sikap Pemerintah dan Tokoh Agama. Pemerintah umumnya mendukung putusan MK karena kolom agama dianggap sebagai bagian dari sistem administrasi kependudukan yang membantu pengambilan kebijakan berbasis data.  Senada dengan pemerintah, tokoh agama juga cenderung mendukung pencantuman agama karena menganggapnya sebagai wujud pengakuan negara terhadap keberadaan agama di Indonesia. 

Putusan MK menegaskan pentingnya kolom agama dalam administrasi kependudukan, tetapi sikap masyarakat tetap terpecah. Untuk meredakan perdebatan, pemerintah perlu memastikan bahwa kolom agama tidak menjadi dasar diskriminasi dan lebih menekankan perlindungan hak asasi setiap individu, termasuk yang memeluk kepercayaan di luar agama resmi. Identitas keagamaan merupakan bagian penting dari jati diri setiap individu, khususnya di negara seperti Indonesia yang memiliki keberagaman agama dan budaya. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, identitas keagamaan tidak hanya menjadi penanda keyakinan pribadi, tetapi juga berfungsi sebagai elemen penting dalam membangun harmoni sosial, mendukung administrasi kependudukan, dan memperkuat nilai-nilai kebangsa.

Meski penting, pada tataran praktis identitas keagamaan juga menghadapi tantangan, seperti potensi diskriminasi terhadap kelompok minoritas atau penganut kepercayaan lokal. Hal ini menuntut pemerintah untuk terus memperbaiki sistem administrasi yang inklusif, termasuk pengakuan terhadap aliran kepercayaan sebagai bagian dari identitas keagamaan. 

Walhasil, Identitas keagamaan bagi Warga Negara Indonesia bukan sekadar informasi administratif, tetapi juga cerminan jati diri dan fondasi kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks kebangsaan, identitas ini berfungsi memperkuat persatuan, toleransi, dan penghormatan terhadap keberagaman. Oleh karena itu, pengakuan dan perlindungan terhadap identitas keagamaan perlu terus diupayakan agar tercipta kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan berkeadilan. Semoga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun