Dalam sebuah ruangan diselenggarakan pertemuan untuk semua orang yang memiliki kepentingan atas negeri yang baru saja bebas dari kolonial, beberapa orang penting duduk didepan dan banyak orang-orang duduk dibagian belakang, mereka dalam aula yang melingkar, ditengahnya kosong sehingga para hadirin terasa berhadap-hadapan. Pemimpin pertemuan adalah Pria Bersemangat, yang didampingi temannya, duduk disebelahnya, namun, ia hanya seorang perenung. Duduk didepan juga orang Alim, Pria Sopan dan Perempuan bertopi jerami.
***
“Apa yang hendak kita perbuat? Apa yang hendak kita ingin capai? Sekarang waktunya bergembira, panggil penabuh gendang dan wanita-wanita penari, semua orang butuh sesuatu unutuk menghilangkan letih atas puluhan tahun berjuang demi tanah ini, demi Negeri kita sendiri,” kata pria berbaju sopan kepada semua orang yang hadir.
“ah, tidak! Ini belum lagi sampai genap barang sepuluh tahun, apa yang hendak kau lakukan dengan menghibur? Hiburan hanya akan membuat kita semua melupakan nikmat yang diberikan oleh Tuhan, bukankah Tuhan yang memberikan tanah in kepada kita? Kita haru melakukan upacara untuk berterimakasih kepada-Nya” kata Orang Alim.
“Apakah aku tidak salah dengar? Jadi inikah alasan kita semua berkumpul, hanya untuk membicarakan sebuah pesta? Atau sebuah nyanyian pujian syukur? Kita semua bicara soal tanah! Akankah kalian lupa soal tanah, tanah ini milik semua orang, semua harus dibagi ratakan kembali,” senggah seorang perempuan berkaos merah usang dan bertopi jerami.
Seluruh hadirin beramai, suara-suara bisikan bergabung memenuhi ruangan pertemuan. Seorang pria gagah berdiri, dengan bersemangat dan penuh percaya diri di memulai, “kita sudah bebas, kita sudah independen, namun, belum saatnya kita semua berpesta dan berleha-leha, ini saatnya kita memikirkan masa depan, masa depan negeri, masa depan banga.” Suaranya menggema mengalahkan semua suara.
“Tidak,” teriak pria Alim, kemudian berkata; “semua ini adalah berkat Tuhan, kita tidak boleh melupakanNya Dia-lah yang memberikan kita semua kenikmatan ini.” Sorak sorai murid-muridnya yang berbaris dibelakangnya membuat ruangan menjadi ramai kembali.
“Apa yang kau bilang kenikmatan belum lagi kami dapatlan, orang Alim sepertimu tahu apa tentang perjuangan, kau hanya duduk didalam kuil-kuil saja, tanah-tanahmu sangat banyak, murid-murid bodohmu itu yang telah memberikan banyak nikmat kepadamu, mereka bercocok tanam dan memancing untuk perutmu. Sedang kami, sejak para kolonial berkuasa sampai sekarang, kami semua masih saja menjadi buruh-buruh, kami masih saja tak punya tanah, berikan tanah mu pada kami sebagian, maka lengkap sudah ibadahmu,” protes perempuan bertopi jerami.
“Laknat! kau tidak tahu dengan siapa kau bicara, dasar wanita najis! Tak heran kau tak laku-laku, lihat dirimu, perempuan pelacur! Hanya orang-orang Alim saja yang mengetahui segala sesuatu dengan benar, dialah tangan kanan Tuhan, berkatalah dengan sopan santu, dasar wanita tak tahu tempat,” senggah seorang murid orang Alim, mukanya geram dan memerah, seakan darah-darahnya akan keluar dari urat-urat yang ada diwajahnya.
Orang Alim kemudian berbalik dan menenangkan muridnya, kasak-kusuk terdengar, bisik-bisik kembali terkumpul, ruangan kembali terisi dengan suara-suara bisik-bisik. Mata perempuan itu memerah, menahan malu dan amarah, dalam hatinya terdapat dendam pada manusia, pada pria, pada setiap pria kolonial dan pribumi yang memperkosanya.
Orang Alim itu berdiri, kemudian berkata; “Tenang-tenang, kita tak perlu risau dan gundah,” semua orang memperhatikannya, “tak perlu kita mendengar dan risau oleh perkataan pelacur itu.” Semua orang menganguk-nganguk.