Mohon tunggu...
Yuda Y. Putra
Yuda Y. Putra Mohon Tunggu... Sales - Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Mimpiku semalam, kau datang membawa seorang bayi di tanganmu, uh, tidak aku tidak mau. Bawa kembali!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sunyi dalam Keramaian

10 September 2016   14:57 Diperbarui: 10 September 2016   15:04 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jam setengah enam, seperti pagi biasa dalam hari-hariku, melihat langiti-langt kamarku yang buram, buran terlukis beraliran abstrak, pelukisnya adalah alam, hujan deras kemarin, kemarinnya lagi dan seterusnya kemarin dibantu angin, mengeser genting tanah yang kemudian merembeskan air mata yang mengenagi plafon-plafon, cara yang aneh untuk Tuhan memperindah pandanganku sewaktu bangun tidur.

Apakah memang layak diriku untuk bangun dan tetap bangun, seperti kemarin-kemarin, entah bagaimana hidup ini bermula sehinngga aku menjadi diriku, sering pertanyaan ini kulontarkan pada penciptaku, tapi dengan caranya sendiri, aku rasa jawabanya hanyalah omog kosong belaka, hidup ini tak akan seindah apa yang kupikirkan, tapi tetap saja harus kujalani, pikiran-pikiran paradoks sekian kali menemaniku.

Indahkah? Busukkah? Entahlah! Semua ini bejalan berkecimpung melintas sampai tak teringat berapa waktu aku hidup, tak terasa sudah enam belas tahun, dan tahun-tahun ini baru aku rasai hidup tak sebegitu indah, tak ada ultramen atau power rangger didunia nyata, tapi monsternya masih kurasai nyata, raksasa, besar sekali, dihadapan monster ini aku benar-benar tak berdaya.

Kurasai kakiku mulai dirambati hawa dingin, kulihat memang selimut tak lagi menutupi kakiku hingga lutut, beranjak dari kenyamanan pulau kapuk penghantar kematian sementara, seperti peristirahatan terakhir, hanya saja lebih nyaman dan tidak benar-benar menjadi terakhir, hanya mirip, sementara, mungkin tidur simulasi dari mati, atau, kehidupan ini cukup beralasan dipandang sebagai kerja yang melelahkan, sedang tidur adalah istirahat dari hidup, mati semantara, kurasai, istirahat sementara dari persoalan dan ketakutan atas keganasan monster-monster raksasa itu, monster yang menguasai nadi hingga nafasku, otot tubuhku, semua dikuasainya, hanya pikiranku yang tidak, untung saja masih bis bebas.

Namun, aku rasa, membebaskan pikiran dari kekuasaan monster, sama artinya, menerima tubuhku ini dikuasainya, mungkin seharusnya tidak kubebaskan dan berusaha tetap bebas dipikiran, jika hal ini membuatku merasa di kuasai monster-monster itu, atau mungkinkah aku dipermaikan olehnya, monster itu lebih dari tahu semua unsur kehidupan bahkan samapai kedalam alam bawa sadar, mungkinkah aku dibentuk begini, agar si monster menyiksaku, benarkah?

Tidak mungkin, monster-monster itu memang berkuasa dan menguasai segala yang ada dalam hidupku, tapi dia tidak cukup pintar untuk mengerti semuanya, yang dia tahu hanya kua budaknya, seperti budak yang lainnya, memujanya, menurutinya, membutuhkannya untuk hidup dan bahagaia, yang dia tahu hanya itu, kesenangannya hanya sampai disitu, tapi mungkin suatu saat, monster-monster itu, mungkin saja, mengetahui persoalan kesadarn ini. Huh! Sial!, tak habis pikir ini pikiran mencurigainya, aku tak mau di kuasai semuanya, aku harus lebih cerdik menguasai mentalku sendiri, tak akan kubiarkan monster-monster itu, biarpun beasar sekali tubuhnya, walaupun kuat ototnya, cengkraman dan kekuatan telekinesisnya, tak akan kubiarkan menguasai pikiranku,pikiranku akan terus bebas, bebas!

Kududuki dipan, merenung dan masih kedua tangan menyangga tubuh, kurasai kulit, nadi, nafas hingga detak jantungku, kurasai keajaiban ini, keajaiban kehidupan, keajaiban metabolisme, bagaimana mungkin tak lelah jantung ini berdetak, atau mungkin aku yang tak tau lelahnya, bukankah aku tak memahami tubuhku sendiri, tapi, jantungku tak pernah berontak seperti berontaknya kaki-tangan ketika kehabisan batas dengan menyiksaku dengan rasa sakit kelelahan, tak pernah aku dapati jantungku menyiksaku dengan rasa sakit, kecuali jika aku patah hati atau jatuh cinta, jantungku benar-benar berbicara, menyesakkan dada, hanya soal itu, padahal kupikir cinta dan sakit hati letaknya di kepala, entah mengapa, dada ini yang berontak ketika merasai itu, ini memang membingungkan, tapi menjga tubuh agar tak berotak sama halnya tujuan hidup ini untuk tidak disiksa rasa sakit, dari muali lapar hingga cinta, tujuan utama manusia, tujuan untuk tak tersiksa bukan?

Bunyi detik-detik kembali mengisyaratkan kesunyian kamar, kutoleh jam dinding, kulihat sudah setegah jam aku berkelimang dengan pikiran, sungguh pikiran yang paradoks, seperti ada pertentangan, tentang indahkah? Atau busukkah?

Kehidupan yang kujalani ini penuh menimbulkan reaksi dari pikiran, kadang kumerasa ditindas monster, kadang dunia menjadi indah bak melihat karya seni, karya seni Tuhan, kadang dunia dipenuhi dengan warna darah, penyiksaan, penderitaan, kelaparan, stress, gila, normal, semua menjadi satu arus yang tak pernah dapat dihentikan, detik-detik masih bersuara, tetap mengisyratkan kesunyian dalam dunia yang sepenuhnya ramai.

Kumelangkah jauh keluar dari tempat persembunyian dari kehidupan, pergi duduk di teras diatas sebuah kursi kayu yang dibuatkan bapak sewaktu kecil dahulu, kursi yag bagus dan kokoh dari kayu jati, kayu sisa pembuatan rumah, bapakku penuh kreatifitas, dia adalah seniman dari berbagai perabot rumah tangga yang terbuat dari kayu, pekerjanya sudah lima, juga menantunya juga suami dari kakak permpuanku, yang sejak dua bulan setelah pernikahan dibuatkan bengkel sendiri, bengkel seniman, diserahinya untuk ladangnya memenuhi kebutuhan kakak perempuan dan keponakan perempuanku, anak satu-satunya, ponakanku satu-satunya.

Jarang aku benar-benar malas bergerak, seharusnya gadis sepertiku seperti gadis yang lain, walau dihari minggu menyapu halaman atau membersihkan perabaot rumah tangga, tapi hari ini benar-benar pertentangan dalam pikiranku sudah memalaskanku, walaupun begitu, aku tetap tak ditegur bapak atau ibuk, bukan ibukku pendiam, justru sebaliknya, kurasa dia satu-satunya manusia yang paling banyak bicara, seriang berdebat dengan semua, dengan bapakku, dengan kakak perempuanku, bahkan jika sedang menghardik adik laki-lakiku yang sekarang masih SD, sungguh, tak ada yang menandinginya, tapi dia adalah manusia paling mulia, tak pernah satupun tanganya digunakan untuk menghardik, hanya mulutnya saja, berbeda dengan bapaku, pendiam, sadis, dingin dan tak pernah aku mengerti maunya, jika menghardik, mulutnya jarang bergerak, hanya tanganya, walau, selagi tangannya berayun, air matanya mengalir, tapi, memuakkan aku melihatnya, air matanya mengalir saat memukulku dahulu, sekali dahulu aku pernah dipukul, hanya karena aku ingin bebas sebagai anak-anak yang tak kenal lelah emnjelah dunia, dahulu, sampai pada akhirnya pukulan itu, kurasai di dadaku, sakitnya tak terkira, jantunngku, dadaku berontak, pikiranku kacau, semua serba menyakitkan, tapi hanya sekali itu, dan aku setelah itu tak pernah di hardiknya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun