Mohon tunggu...
Yuda Y. Putra
Yuda Y. Putra Mohon Tunggu... Sales - Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Mimpiku semalam, kau datang membawa seorang bayi di tanganmu, uh, tidak aku tidak mau. Bawa kembali!

Selanjutnya

Tutup

Drama

Tari-tarian di Malam itu

29 September 2016   13:54 Diperbarui: 30 September 2016   14:11 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bajingan! Siapa yang mau menjadi pelacur! Kalian semualah yang memaksakannya kepadaku, kalian semua yang tak bisa menjaga kemaluan kalian berdiri ketika melihat dada seorang perempuan, bahkan pada nenek-nenek sekalipun,” teriaknya memekik, perhatian semua orang tertuju padanya. Seluruh ruangan berisi pria, hanya dia yang perempuan. Seorang teman perempuan itu, yang sama memakai topi jerami menepuk pundaknya dari belakang dan menggeleng-gelengkan kepala memberi tanda untuk menenangkan diri.

“Hadirin-hadirin yang terhormat, kita semua berkumpul untuk membicarakan masa depan bangsa, kita semua adalah  orang-orang merdeka, bebas menyuarakan pendapat, saudara-saudara, marilah berbicara selayak manusia yang bermartabat dan terhormat,” Senggah Pria Perenung, yang duduk disebelah Pria Bersemangat.

“Masa depan ada ditangan Tuhan!” teriak orang Alim, semua muridnya yang sangat banyak bersorak ramai, suara-suara menggema dan menggetarkan dinding-dinding ruangan, memekakkan telinga, kemudian pria Alim berdiri dan memberikan aba-aba untuk tenang, dengan senyum puas dia duduk kembali.

“Apa yang kau tahu tentang kemajuan? Negeri kita butuh ekonomi yang kuat, apa yang kau tahu tentang ekonomi dan pembangunan. Kita harus mulai mendirikan perusahaan-perusahaan, dimulai dengan pengambil-alihan perusahaan pengolahan yang didirikan kolonial, itupun masih belum cukup, kita harus memikirkan hubungan dengan negeri lain, keadaan dunia sedang genting-gentingnya,” dengan suara yang anggun pria Sopan memotong keramaian.

Semua orang terdiam, persoalan berat semacam itu belum lagi pernah dimengerti oleh Pria Alim dan murid-muridnya, pria alim seperti kehabisan kata-kata, senyumnya menghilang, ketika hendak akan memulai berbicara, ia tertahan, keduluan oleh Perempuan bertopi jerami; “Hendaknya anda juga memikirkan bagaimana nasib soal kami yang tak punya tanah, kami juga sama berjuangnya sama dengan hadirin-hadirin disini, keringat dan darah kami juga tercucur dimedan pertempuran. Dan apakah kami yang hanya menempati posisi perburuhan atau lebih tepatnya perbudakan, orang yang paling merasakan ganasnya kolonial, sampai sekarang harus tetap menjadi budak ditanah merdeka? Kami juga ingin mencicipi kemerdekaan sama dengan yang tuan-tuan rasakan selama ini.”

Kasak-kusuk mulai terdengar kembali, beberapa teriakan dan beberapa ejekan, beberapa keluhan, kesemua suara bersatu memenuhi dan memantul-mantul dalam ruangan, memekikkan terlinga. Pria bersemangat berdiri, dengan lantang ia berbicara; “Hadirin-hadirin yang terhormat, mohon untuk ketengannya, kita semua sudah lelah untuk berjuang, namun, kelelahan ini bukan lagi menjadi alasan, karena dunia sedang goncang, dunia sedang mengalami kemajuan yang pesat, kita harus berdiri tegak dan meletakkan pondasi dengan kokoh untuk penerus-penerus kita; yaitu mereka yang masih belia dan akan mengambil alih tugas hadirin-hadirin semua dan termasuk saya sendiri dalam memelihara bangsa, janganlah terpecah-pecah, selalu ada jalan tengah.” Para hadirin kemudian terdiam, seolah terhipnotis oleh kewibawaannya, “hadirin-hadirin, marilah kita renungkan apa itu kemerdekaan, dan bagaimana dahulu kita semua bersatu untuk memperolehnya, kemerdekaan ini untuk semua, sudah selayaknya kita berbagi kemerdekaan, kemerdekaan pikir dan material, semua pendapat-saudara-saudara akan dilaksanakan dengan baik, Tuhan akan selalu menjadi landasan negeri dalam bertindak, sudah selayaknya kita bersyukur atas kehadirat Tuhan, ekonomi harus juga harus ditegakkan, tanah-tanah akan segera dibagi-ulang, seluruh hadirin harap puas dengan kesimpulan yang saya buat, karena dengan demikian, kemerdekaan akan tetap terwujud bagi semua.” Semua orang menganguk-nganguk, semua orang menyetujui, tiada yang dapat menolak wibawa pria bersemangat, kecuali satu, pria perenung, ia menatap pria bersemangat dengan lototan keheran, seperti dalam benaknya terpikirkan suatu bencana.

Pertemuanpun ditutup dengan kepuasan setiap orang, semua orang kembali pulang dengan perasaan puas.

***

Ada yang berbeda pada pasar hari ini, semua  yang beramai menjual dan membeli sesekali tertarik perhatiannya kepada seorang berkaos merah, berdiri pada mimbar dan berpidato, pidato-pidato tentang kesetaraan, tentang hak, tentang kelas sosial dan lain sebagainya. Kemudian satu pernyataan mengubah segalanya; “para Alim, pemuka agama, para pengusaha yang mentuankan dirinya, memburuhi kita, mereka adalah kelas penguasa yang harus digulingkan, masyarakat harus bebas, tanah harus dibagi ulangkan.” Sorak-sorak terdengar, seperti mendapat pencerahan baru, semua orang bergembira.

Di persipngan jalan yang dekat dengan kerumunan, seorang murid pria Alim berdiri melongo, mendengar itu semua ia berlari, berlari menuju rumah orang Alim. Keringatnya bercucuran, nafasnya tersengal, kemudian dengan susah payah ia mengetuk pintu.

Pintu dibuka, “Ada apa engkau datang kemari?” kata istri orang alim, kemudian sang murid menjawab “sahaya hendak bertemu dengan kanjeng Alim,” istri orang Alim memandangi sang murid dengan keheranan, kemudian ia berkata; “ia sedang berada di kuil,” tanpa berpamitan, sang murid berlari menuju kuil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun