Menggunakan kuda dan kursi tandu yang dihias, anak-anak Kampung Muslim Kepaon Desa Pemogan, Denpasar itu wajahnya tampak ceria. Kerumunan sanak keluarga serta masyarakat desa yang berbaur dari pagi semakin menambah keriangan suasana.
Kemunculan arak-arakan pengantin sunat ini didahului tetabuhan rebana dengan lantunan salawat nabi. Kuda yang dituntun dan kursi yang di tandu berjalan dan sesekali memutar mengikuti irama rebana. Itulah sketsa visual awal yang saya baca dari karya fotografi Ida Bagus Putra Adnyana atau lebih dikenal Gustra. Terasa sekali merekam ragam aktivitas budaya di Bali.
Adalah hal yang menarik membaca karya-karya fotografi Gustra dari perjalanan kerja fotografinya. Setelah memamerkan foto-fotonya yang mengkisahkan tiga dasa warsa sebagai fotografer dan menerbitkan buku terbarunya Bali Ancient Rites in Digital Age, Gustra terus melakukan ekplorasi visual dengan merekam aktivitas budaya masyarakat yang ada di Bali.
Dalam melakukan kegiatan pemotretan di kampung muslim Kepaon yang sebagian besar masyarakatnya muslim, Gustra hampir tidak menemukan kendala apapun. Ia membaur dengan masyarakat, bahkan ketika ingin mendapatkan eagle eye angle dengan naik atap, masyarakat muslim mempersilahkan dan membantu. Menurut Gustra, tidak ada masyarakat yang memberikan jarak. Dirinya sangat merasakan ketika kerja fotografi yang melibatkan prisnsip toleransi justru menjadi indah pada prosesnya.
Karya fotografi Gustra tentang sunatan massal di Kampung Kepaon semuanya terlihat menarasikan tentang sudut pandang selebrasi yang dibangun masyarakat setempat dalam mempertahankan tradisi luhur. Kekuatan karya fotografi Gustra adalah mampu menyajikan tema tradisi dan budaya dengan cara penglihatan toleransi melihat kampung muslim yang telah ada sejak dulu karena hubungan budaya dengan Bali. Kepaon sendiri sangat erat kaitannya dengan keberadaan Kerajaan Badung. Hal itu sebagaimana tertuang dalam lontar berhuruf Bali "Kisah Kamaruz-Zaman" (peralihan zaman), serta "Kisah Zul-Ambiyak" (kisah para nabi) yang ditulis dalam huruf Melayu. Dari pelaut yang terdampar, kemudian dilibatkan oleh Kerajaan Badung dalam Melawan Puri Mengwi sampai pernikahan putri Raja Pemecutan III bernama Anak Agung Ayu Rai dengan Raden Sastroningrat yang kemudian memeluk islam.
Bukan hanya di Sunatan masal, Kampung Kepaon dalam ritme kehidupan tradisinya telah menyatu dengan Bali, seperti kegiatan bulan ramadhan, takbiran yang melibatkan sekaa (kelompok) baleganjur warga Bali di sana. Penghormatan masyarakat Kampung Kepaon dan penghargaan keluarga Raja Badung hingga kini pun masih terjalin dengan harmonis dalam bentuk persaudaraan muslim (nyama selam).
Walaupun karya Gustra masih terframe dalam rujukan kekuatan estetis, saya bisa ikut merasakan bagaimana indahnya toleransi yang dibangun di bumi Bali, terutama mengenang ingatan budaya yang menciptakan keharmonisan kehidupan yang penuh toleransi. Dari foto Gustra saya banyak belajar, ingatan budaya telah menjembatani pentingnya bertoleransi. Memang inilah kekuatan visual dalam fotografi yang dapat menceritakan realita secara fundamental.
Jadi apakah kekuatan visual hanya memberikan jawaban dari keinginan fotografer untuk menyampaikan pesannya?. Di dalam foto-foto Gustra ini justru tidak juga, karena foto Gustra juga menyampaikan pertanyaan kuat bagi pembaca karyanya untuk melihat peristiwa kehidupan, lebih-lebih peristiwa budaya dengan ragam pergerakannya. Namun seperti biasa, ekspresi kuat dari obyek yang ia bidik tetap menjadi karakter bahwa itu karya Gustra.