Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Proses Kelana Sunyi Wayan Upadana

8 Juni 2016   22:39 Diperbarui: 8 Juni 2016   22:45 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WAYAN UPADANA, Silence Process, 2013, 97 x 97 x 19 cm, painted polyester resin, acrylic, kulit, rambut, frame digital 7 inchi

DI PELATARAN pura yang hening, satu keluarga sedang melakukan sembah bakti ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Mereka adalah keluarga kecil dengan dua anak, tinggal di desa yang dekat dengan hingar bingar obyek pariwisata. Pagi semakin hening oleh doa dan wangi dupa, menghantarkan keluarga kecil itu melantumkan puja rasa syukur atas berkah dan karuniaNya.

Sebuah cerminan kehidupan masyarakat Bali yang tidak bisa lepas dari tradisi luhur, melakukan rutinitas sembahyang, puja, syukur dan doa-doa. Bali dalam dinamika perkembangannya telah menempatkan pulau ini pada evolusi sosial maupun ekonomi yang sangat cepat karena pariwisata. Globalisasi yang begitu kompleks telah membawa Bali dalam posisi harapan dan kecemasan. Secara harapan, pembangunan di Bali dengan sektor pariwisata sebagai tulang punggung dapat memberikan kemajuan bagi kesejahteraan di tingkat ekonomi. Sebaliknya muncul sebuah kecemasan, bahwa Bali yang semakin terbuka dalam hubungan global dapat memberikan pengaruh pada ketahanan nilai-nilai, dan sikap moral masyarakatnya.

Demikian bincang awal ketika saya berkunjung ke studio Wayan Upadana atau yang dikenal dengan Pang Pang. Studionya yang nyaman masih dalam lingkungan desa tua di Desa Pakraman Bonbiyu, Saba, Blahbatuh, Gianyar. Studio yang sekaligus kediaman Pang Pang mengingatkan saya pada sebuah potret Bali dalam peradaban yang memang sedang berubah pesat. Belum sampai saya melihat karya tiga dimensinya yang saya kupilih menjadi bahan pembacaan, Pang Pang telah mendahului bincang perihal dinamika globalisasi terhadap budaya Bali. 

Tiba-tiba saya mulai membaca ada sebuah sense bagaimana perupa Bali memandang budaya sendiri, mempertanyakan adaptasi budaya yang mampu mempertahankan nilai-nilai luhur, dan dapat terus mengikuti perkembangan sesuai dengan semangat zaman.

***

Hari ini adalah hari penting bagi masyarakat Bali, yaitu sehari sebelum hari raya Kuningan. Hari kuningan merupakan hari suci agama Hindu yang dirayakan setiap 6 bulan atau 210 hari sekali, dalam hitungan kalender Bali tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. Kuningan merupakan hari resepsi bagi hari Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma yang pemujaannya ditujukan kepada para Dewa dan Pitara agar turun melaksanakan pensucian serta mukti, atau menikmati sesajen-sesajen yang dipersembahkan. Kemenangan dharma atas adharma yang telah dirayakan setiap Galungan dan Kuningan hendaknyalah diserap dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Sepanjang perjalanan menuju studio Pang Pang saya melihat masyarakat Bali mempersiapkan Kuningan dengan penuh suka cita. Laki-laki dan perempuan, dari anak-anak sampai dewasa semua menyambutnya, inilah budaya Bali dalam tradisi berjalan terus diwariskan pada generasi ke generasi.

Di Studio Pang Pang pandangan mata saya tertuju pada satu karya patung yang berada di samping pintu studionya. Saya mulai mencoba menggeser pandangan pada karya patung yang terbuat dari polyester resin berwarna putih. dan ditengahnya terdapat monitor video. Silence Process judul karya itu, dibuat tahun 2013, dengan ukuran 97 x 97 x 19 cm dan bermateri Painted Polyester Resin, acrylic, kulit, rambut, frame digital 7 inchi. 

Dalam karya itu terlihat orang yang sedang duduk bersila berkepala Barong. Di tengah dada terdapat digital monitor video. Patung ini telanjang apa adanya tanpa sentuhan warna balutan busana. Figur dalam patung dapat dirasakan hening seperti meditasi.

Saya melihat dengan jelas figur yang ditampilkan Pang Pang dalam karyanya adalah mewakili orang Bali. Barong adalah cerminan identitas Bali yang ia letakkan sebagai kepala. Barong adalah metafora tegas dimana menggambarkan pola pikir.

 Sementara Video yang terdapat di dada adalah menggambarkan adanya kebutuhan hidup. Kaki menyentuh tanah, tangan terbuka menegadah di atas lutut. Sebuah dialog penting seketika berbicara meraba pembagian wilayah pembacaan antara badan, tubuh dan kaki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun