Romantisme kultur, jenaka, dan simbolik, demikian seolah menjadi kerangka untuk melihat karya rupa I Made Arya Dwita atau yang lebih dikenal dengan Dedok. Kepiawaian teknis menggabungkan unsur kartun kedalam lukisan dan kesadaran estetis menjadikan karya seni rupa yang sarat dengan pesan moral maupun tamparan sosial kemanusiaan.
Selama ini, karya lukis Dedok kerap dihubung-hubungkan dengan pembacaan situasi konflik sosial di masyarakat. Perupa kelahiran Denpasar 1971, tamatan ISI Jogjakarta ini sejak kecil memang menaruh perhatian pada obyek kehidupan manusia dengan beragam fantasi termasuk tokoh Batman yang menjadi idolanya. Segeralah dapat dimengerti jika banyak penikmat dan pengamat lukisannya menghubung-hubungkan dengan tokoh kartun maupun ciptaannya.
Sejumlah karya penting Dedok yang telah diikutkan dalam event seni rupa memperlihatkan kesungguhannya dalam merespon isu sosial kekinian berupa narasi visual yang menghadirkan elemen berbasis budaya. Sebagai orang Bali, ia sangat memahami bahwa budaya memiliki semangat maupun kekuatan untuk menjawab tantangan perkembangan jaman. Sejauh mana budaya itu mampu berbicara, maka Dedok mengambil salah satu unsur budaya Bali yaitu berupa barong sebagai identitas visual sebagian besar karyanya.
Karya Dedok seperti jembatan yang menjadi pengungkap apa yang ia lihat, dan perhatikan, sekaligus pula menjadi pemahaman atas realitas yang sedang terjadi. Ia menciptakan ruang yang kemudian dikembangkan untuk dimengerti dan dikupas, serta ditunjukkan pada orang lain. Karya-karya Dedok terkadang teduh, kritis serta memberi semangat perlawanan. Seperti dalam karya yang diikutkan dalam Bienale Jateng 2016 di Semarang baru-baru ini.
Lukisan berjudul The Barong Love and Peace yang dibuat tahun 2014 dengan ukuran 150 X 200 Cm, akrilik di atas kanvas menggambarkan banyaknya kriminalitas, peperangan, korupsi, narkoba, isu SARA, seakan dunia kita sudah tidak aman dan nyaman. Di tengah terjangan tersebut, menurut Dedok kita harus memiliki benteng perlindungan, baik itu di tingkat keluarga, masyarakat, negara maupun dunia. Karya ini juga menggambarkan betapa susahnya mencari cinta dan kedamaian, simbolisme yang diwakili burung merpati berusaha mencari perlindungan kepada barong dan Gatot Kaca sebagai pelindung dan kebenaran.
Dedok dalam karya The Barong Love and Peace seperti membuat satu pernyataan tentang spirit budaya. Kebaikan yang terlihat pada figur jenaka barong dan Gatot Kaca diangkat ke dalam karya menurutnya agar spirit tersebut selalu terbawa kemana kaki ini melangkah, dan sekaligus mempopulerkan produk seni budaya adi luhung nusantara.
Ketika melihat figur dan obyek yang menjadi elemen karyanya berbicara berbentuk kartun, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia tidak bisa menghilangkan kecenderungannya sebagai sosok kartunis. Kartun menurutnya sangat mudah untuk menterjemahkan permasalahan maupun sebagai bahasa visual yang kuat. Ia tak segan mendeformasi figur maupun obyek dalam berbagai karakter, walaupun keinginan yang keras akan tervisualisasikan menjadi lucu bahkan kenes. Di sinilah sebuah kesan yang sekaligus menjadi ikon bahwa permasalahan sosial kehidupan dilukiskan dengan gayanya sendiri.
Sedangkan karya yang memiliki konteks pentingnya pelestarian lingkungan hidup yaitu Barung Unity, dengan ukuran 150 X 200 Cm, dimana Dedok kembali merefleksikan dirinya sebagai masyarakat yang hidup di tengah laju modernitas serta laju pemanasan global. Segala permasalahan lingkungan hidup harus diselesaikan bersama-sama dari seluruh lapisan masyarakat. Seperti yang ia gambarkan miniatur dunia dengan kemajemukan penghuninya harus saling memikirkan dan senantiasa berbuat yang terbaik bagi kehidupan di planet bumi.