Ada sebuah ruangan yang penuh daun-daun di rumah tua dan kurang terawat itu. Sebetulnya bisa saja ruangan itu menjadi bersih, tetapi memang bukan bersih yang dikehendaki, melainkan itulah cara ia bercakap-cakap mengenai dirinya dengan daun-daun yang dipetiknya, dikumpulkan lalu di dekap dengan senyum bahkan terkadang tangisan.
Perempuan itu sudah tua. Telah delapan puluh tahun usianya. Rambutnya masih terlihat berimbang antara uban dan hitam. Giginya masih banyak yang utuh karena sejak remaja suka nginang. Badan nenek yang terlihat masih tegar itu ternyata ditopang oleh kaki palsu, karena buntung digerogoti lepra. Raut wajah dengan keriput keras menonjol, menghiasi wajahnya yang kelihatan telah lama memendam keprihatinan.

Kisah perempuan tua yang memiliki nama Kendri, menjadi menarik di mata fotografer Rudi Waisnawa. Mbah Kendri adalah saksi hidup bagaimana wabah lepra menyerang Bali. Dan yang lebih menarik lagi, Kendri juga mewakili saksi hidup sejarah suram Gestok. Hidupnya penuh duka warna, ia dipaksa dijual oleh orang tuanya dengan alasan dinikahkan ke saudagar kaya, kini ia hidup berguru pada kesunyian daun-daun. Kisah Mbah Kendri itu menjadi jelas berbicara dalam frame-frame foto Rudi.
Karya foto Rudi ini merupakan salah satu langkah untuk membuka misteri dari sosok Mbah Kendri yang selama ini seakan terabaikan, di masa sekarang ini Bali sudah terbebas lepra, apalagi melihat kehidupannya yang sangat jarang bersentuhan dengan masyarakat normal, terkucilkan dan semakin kabur didengar.

Saya mulai berfikir ini bukan sebuah kebetulan, bila melihat karya-karya fotografi Rudi lima tahun terakhir masih didominasi tema-tema humaniora seperti orang-orang dengan gangguan jiwa yang terpasung. Kehadiran Rudi saya lihat sebagai fotografer yang terbebaskan melihat sisi kehidupan dan kemanusiaan. Subyek karyanya yang tidak terbiasa dalam jebakan estetis, gaya penjelejahan dan kepeduliannya pada orang-orang terpinggirkan berhasil diterima oleh publik dan mendapat perhatian dari para kritikus foto. Walaupun terkadang mendapat komentar-komentar yang kontroversial, ia adalah salah satu fotografer yang konsisten melihat sisi muram Bali.

Tatapan Mbah Kendri dalam foto Rudi mengeluarkan kepiluan yang mendalam. Foto Rudi adalah “penyampai” kepada khalayak luas di tengah larutnya melihat Bali yang serba indah. Foto-foto Rudi juga menyampaikan pandangan solidaritas, sosial, budaya, juga aspek antropologis yang bisa digali lebih dalam lagi.

Dunia fotografi terutama di era digital kini masih terpukau oleh keindahan yang bertumpu pada beragam pencarian. Memang sah-sah saja untuk mengeksplorasikannya, dan tetap mendapat tempat serta banyak peminatnya. Namun, seperti biasa, Rudi tetap tenang dalam mengangkat isu kemanusiaan, tanpa mengabaikan prinsip keseimbangan antara dirinya dan orang lain atau hubungan dirinya dengan orang lain.