Ketika seorang musisi jazz merasa perlu membawa bagian komposisi garapannya dalam konteks seni rupa, apa yang kemudian ingin disampaikan pada publik penikmat seni rupa maupun jazz ? Itulah yang terjadi dalam pembukaan pameran nasional ke-3 Komunitas Lukis Cat Air Indonesia “Tat Twam Asi” di Grya Santrian Gallery, Sanur, Bali. Alunan grand piano Indra Lesmana hadir sebagai elemen penanda mengalirnya jazz ke dalam karya lukis cat air. Pemandangan pembukaan pameran menjadi puitis bahkan romantis. Leburan warna-warna cat air yang merespon komposisi Indra nampak beragam, membentuk imaji bebas, diterjemahkan secara luas.
Dari tujuh perupa cat air yang merespon komposisi karya Indra masing-masing Ngurah Darma, Kin Kin, Candra Martoyo, Sigit Crueng, Irwan Widjayanto, Harry Suryo dan Jevi Alba memberikan capaian pada ruang, dan objek, serta imaji tangkapan kelana visual dalam sebentuk garis, bidang, komposisi warna maupun suasana lain di luar ruang, dimana Indra sedang membawakan komposisi jazznya.
Ngurah Darma merespon komposisi Indra dalam wajah penari Bali, alunan komposisi Indra bagi Ngurah justru mengalirkan pada pembacaan impresi wajah-wajah penari legong. Jevi Alba menangkap pada sosok figur Indra Lesmana, Jevi yang juga merespon komposisi Indra dalam rupa bunyi menjadi rupa gerak, menangkap sosok Indra dalam sebentuk sepektrum warna-warna sejuk di atas kertas. Irwan Widjayanto justru menangkap ingatan suasana romatis pantai Sanur dalam panorama maupun frame suasana yang nyaman diantara kursi dan meja berpayung. Sigit Crueng menangkap sauasa arsitektur ruang, objek dan subjek yang melekat ketika Indra mengalunkan komposisinya menjadi imaji ruang yang harmonis. Sementara Harry Suryo dan Candra Martoyo lebih luluh memasuki komposisi jazz dalam sapuan cat air yang meleleh di atas kertas dalam sebentuk abstraksi yang meruang.
Konvesi seni rupa cat air yang biasa melebur di atas kertas melalui berbagai perspektif perupa, memang sangat terlihat bukan semata-mata tangkapan dari hadirnya performance Indra Lesmana memainkan komposisi garapannya, tetapi juga tangkapan rasa yang menjadi titik penting dalam merespon apa yang telah dilakukan oleh Indra Lesmana dalam garapan komposisi jazznya.
Sedangkan bagi Indra Lesmana, saya melihat ini adalah bagian caranya secara radikal ingin memperluas bentuk-bentuk jazz yang memerlukan medium lain, keluar dari panggung, meraba warna-warna cat air, dan cair lebur dalam partitur yang teratur. Indra tidak semata menyusun partitur nada-nada seperti yang mula biasa dikenalinya, ada unsur pelihatan yang dapat masuk sebagai misteri dari cat air itu sendiri.
Wajar, bila Indra terlibat dialog sunyi mengenali 76 karya-karya perupa cat air Kolcai yang terbingkai dalam tema Tat Twam Asi, mungkin ini adalah cara Indra menyusun konfigurasi karya cat air lalu pulang ke asal, diwadahi dalam nada-nada komposisi jazznya. Apa yang terjadi kemudian dalam membangun ruang imaji antara cat air dan jazz, justru kembali pada proses menjadikan karya yang secara berbeda dalam membaca “Tat Twam Asi”.
Memang, kolaborasi antara musik jazz dan seni rupa bukanlah hal yang baru, Paul Klee telah merespond Bauhaus Jazz Band dalam karya-karyanya yang telah diwartakan dalam all tomorrow bauhause parties. Begitu pula Keith Hearing yang karyanya telah menghiasi poster festival jazz dunia ternama Motreux Jazz Festival pada tahun 1983. Deretan nama-nama lain tentu telah menjadi bagian penting bagi menyatunya jazz dan seni rupa, termasuk Romero Britto perupa autodidak Brasil yang karyanya telah menyebar ke berbagai piranti benda-benda besar seperti mobil sampai yang kecil seperti flash disk, juga menghiasi poster Motreux Jazz Festival.
Lantas, bagaimana kehadiran Indra Lesmana dalam jazz in watercolor di Grya Santrian Gallery yang berkolaborasi dengan perupa cat air dari Komunitas Lukis Cat Air Indonesia ?. Saya kira ini adalah sebuah moment pencerahan baru tentang hadirnya jazz di Bali sebagai bagian arus seni rupa, sekaligus spirit baru bagi Indra maupun perupa untuk mau keluar dari sangkar panggung jazz maupun studio perupa.
Ketika perkembangan seni rupa maupun jazz adalah satu pemikiran yang mencoba memahami seni dalam beragam dinamika, maka sangatlah wajar ia berkembang pararel dengan sejumlah pemikiran maupun gagasan yang multi lintas bidang. Sebuah tanda-tanda bagi perkembangan jazz di Bali yang diawali oleh Indra Lesmana, sangat mungkin istilah “jazz in watercolor” menjadi ikon bagi perkembangan seni rupa di Indonesia. Serta sangat memungkinkan pula baginya untuk mengembangkannya ke “jazz in fine art”. (Yudha Bantono, Catatan dari Pameran Nasional III Komunitas Lukis Cat Air (Kolcai) Sanur, 4.09.2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H