Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Jalan Made Wianta

8 September 2016   22:32 Diperbarui: 9 September 2016   10:24 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Made Wianta, Photo Koleksi Seniman

 

Galeri Sembilan adalah sebuah galeri yang berada di Desa Lotunduh, desa pintu masuk menuju kawasan ubud dari arah Singapadu. Pada daerah yang memiliki jalan menurun dan menikung, lebih menyerupai lembah kecil, orang Amerika Christopher Stern mendirikan dan mengelola galeri sebagai basis berkarya dan berbisnis seni rupa. Sepanjang jalanan di bawah galeri, yang cukup ekstrim serta dipercaya tenget oleh masyarakat sekitar karena seringnya terjadi kecelakaan, perupa Made Wianta melihat performa lokasi yang menunjang itu untuk diresponnya dalam sebentuk happening art.

Ketika matahari yang hampir tenggelam hanya menyisakan mega kuning kemerahan di langit barat terlihat dari jendela rumahnya di Jalan Pandu Denpasar, Wianta menyebut kata "Jalan" berulang-ulang. Saya mendengar dan mencatatnya,  kemudian ia jadikan judul happening artnya. Seperti biasa, Wianta membuat sketch rancangan gagasan dalam kertas putih, mengumpulkan materi sampai merancang scenario happening artnya.

Wianta merasa berdiri di depan jalan dimana korban kecelakaan yang merenggut nyawa di samping Pasar Sukawati. Memang, ia bisa mengingat dengan jelas urutan-urutan kejadian sampai mendokumentasikan melalui kameranya. Kecelakaan itu terjadi sekitar awal tahun 80 an, dan Wianta merekamnya, dua puluh tahun kemudian ingatan itu ia hadirkan kembali sebagai bagian dari cara berkeseniannya.

Ketika Made Wianta merasa perlu membawa bagian ingatan kecelakaan sebagai seni rupa penyadaran, ia hadirkan kembali problematika infra struktur jalan yang membuat banyaknya kejadian kecelakaan. Jalan yang berlubang, kendaraan yang tidak tertib lalu lintas, pemakai jalan yang ugal-ugalan, fungsi jalan yang berlebih sampai arogansi pemakai jalan.

Made Wianta, Photo Koleksi Seniman
Made Wianta, Photo Koleksi Seniman
Kala itu, saya terlibat penuh sebagai project manager di proyek seni jalan itu. Wianta menyusun daftar yang diperlukan. Truk molen, drum aspal, kandang babi, pemeran pendukung, sampai rambu-rambu lalu lintas dan police line. Setelah saya mendapatkan semuanya kurang satu hari seluruh pendukung kegiatan mencoba scenario, yang kesokan harinya siap dilaksanakan.

Pemandangan petang itu memang terlihat miris, entah suasana apa yang tiba-tiba muncul. Happening art dimulai, korban kecelakaan menempati posisi tersungkur, para pria dan wanita dengan kain serba putih berjalan penuh teatrikal, langgam gending duka dikumandangkan, truk molen menjatuhkan air dari tangki besarnya. Sirine ambulan berbunyi. Baru berjalan sepuluh menit, happening art terhenti tiba-tiba. Masyarakat yang merasa terganggu dengan ditutupnya jalan dengan serta merta memberhentikan happening art yang sedang berjalan. Massa yang tidak terbendung merangsek ke kalangan happening art membuyarkan penonton. Mereka memaki-maki, dan mengumpat serta minta happening art disudahi.

Tahun 2001, publik seni Bali setidaknya telah disuguhi kejadian yang justru menghadirkan kondisi riil di jalan, dan semakin membuat suasana keberhasilan happening art Made Wianta, gumanku.  Mengingat kembali kejadian itu, dan sampai pada perkara kepolisian di Polres Gianyar, seolah seperti paket penyajian happening art yang memang sedang berlanjut. Penggunaan bermacam media, keterlibatan masyarakat, waktu, dan realitas permasalahan, layak saya anggap sebagai happening art terbaik, walau menuai perkara dan terselesaikan dengan jalan damai.

Dua tahun saya mengenal Made Wianta setelah menggarap projek art and peace  akhir tahun 1999. Inilah moment penting dalam perjalanan kreatif Made Wianta dimana saya terlibat.  Perupa yang memulai jalur seni rupa dari berbagai permasalahan hidup, dengan proses kreatif menimang masalah, telah menghadirkan pola ungkap yang saya lihat memang berbeda dari seniman lainnya.

Intensitas Wianta dalam memahami persoalan jalan dapat dilihat dari ia mendokumentasikan kejadian-kejadian kecelakaan di Bali yang menewaskan banyak korban. Pemahaman Wianta atas jalan didahuluinya dengan riset pribadi, mencari data-data berupa angka-angka di kepolisian, dimana ia kebetulan memiliki kerabat di kepolisian. Dengan sangat fasih Wianta seolah mampu menggambarkan seluk beluk permasalahan kerumitan jalan.

Wianta memiliki kecenderungan menggunakan komunikasi spontanitas dan responsive terhadap apa yang akan dibuat saat itu, dan ingatan masa lalu hanya sebagai referensi. Menerjemahkan persoalan jalan dibutuhkan hal yang aktual, termasuk pro dan kontra yang bakal terjadi. Saya melihat dalam menggarap happening art “jalan” Wianta lebih pada keinginan untuk mengusik atau masuk pada perasaan masyarakat. Dan tujuan utamanya adalah agar masyarakat merenungkan kembali terhadap hal-hal yang telah terjadi di jalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun