Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Borgia, Gus Toke dan Lembaran Kelam Katolik Roma

28 Mei 2016   20:20 Diperbarui: 1 Juni 2016   10:43 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gus Toke, Borgia, 21.0 x 29.7 cm, ink on paper

DALAM sejarah Katolik Roma, Alexander VI adalah Paus yang tak dilupakan Roma karena kehidupan pribadinya telah diakui tidak mendatangkan hormat bagi gereja. Orang yang sezaman dengan keluarga Borgia, meskipun sudah terbiasa dengan tindakan memuakkan yang serupa, memandang kejahatan mereka dengan sangat ngeri, yang gaungnya, lebih dari empat abad kemudian, masih belum sepenuhnya lenyap.”—L’Église et la Renaissance (1449-1517).

Mengapa dalam sejarah yang disegani tentang Gereja Katolik Roma melontarkan komentar sekeras itu mengenai seorang paus dan keluarganya? Apa sepak terjang mereka sehingga pantas mendapat kritik seperti itu? Sebuah karya rupa Gus Toke yang berjudul Borgia memberikan kesempatan kembali kepada saya untuk merenungkan lembaran sejarah masa lalu di benua eropa nun jauh disana.

Saya tidak menduga bahwa gaya Gus Toke yang terbiasa melihat representasi sosial dengan beragam parodi tiba-tiba serius mengikat narasi pada karya ini. Saya mulai berfikir tentang proses penggalian personal dari pemikiran seorang Gus Toke. Karya ini bukan semata pernyataan yang ia buat, tapi sebuah proses studi atau riset yang telah dilalui. Ada nilai yang harus diakui bahwa karya-karyanya memiliki fokus yang dapat dibaca secara ulang untuk bersinggungan dengan sejarah. Dan lagi-lagi saya harus meraba-raba, apakah ini pengaruh pemikiran  dimana ia telah tinggali selama puluhan tahun di eropa.

Kisah Borgia diangkat dan dibicarakan kembali oleh Gus Toke mewakili sejarah kelam masa Katolik Roma. Rodrigo Borgia lahir pada tahun 1431 dalam sebuah keluarga yang terkemuka di Játiva, Kerajaan Aragon, sekarang terletak di Spanyol. Pamannya, Alfonso de Borgia, uskup Valencia, mengawasi pendidikan kemenakannya dan memastikan agar meskipun ia masih remaja, Rodrigo dianugerahi jabatan gerejawi (kedudukan di gereja disertai pendapatan).

 Pada usia 18 tahun, di bawah perlindungan Alfonso, yang sekarang menjadi kardinal, Rodrigo pindah ke Italia, tempat ia belajar ilmu hukum. Semasa Alfonso menjabat sebagai Paus Calixtus III, ia menjadikan Rodrigo dan kemenakannya yang lain sebagai kardinal. Pere Lluís Borgia dijadikan gubernur atas berbagai kota. 

Tak lama kemudian, Rodrigo dilantik sebagai wakil kanselir gereja, suatu kedudukan yang ia pegang di bawah berbagai paus, yang memungkinkan dia mendapatkan berlimpah properti, meraup sangat banyak harta, menjalankan kekuasaan yang luar biasa besar, dan hidup dalam kemewahan bak seorang pangeran.

Rodrigo berotak cerdas, seorang pembicara yang fasih, pelindung seni, dan sanggup meraih tujuannya. Namun, ia memiliki sejumlah hubungan gelap, mempunyai empat anak dari seorang kekasih gelap sepanjang hidupnya dan lebih banyak anak dari wanita-wanita lain lagi. Walaupun ditegur keras oleh Paus Pius II untuk kecenderungan alaminya yang kuat akan kesenangan ”yang paling tak bermoral” serta ”kenikmatan yang tak terbendungi”, Rodrigo tidak mengubah haluannya.

Setelah kematian Paus Innocent VIII pada tahun 1492, para kardinal gereja berkumpul untuk memilih penggantinya. Tak disangkal lagi, Rodrigo Borgia, berbekal tawaran yang menggiurkan dan sinisme yang terang-terangan, membeli cukup banyak suara dari rekan-rekan kardinal dalam rapat tertutup itu agar memilihnya sebagai Paus Aleksander VI.

 Dengan apa ia membayar suara para kardinal itu? Dengan memberi mereka kedudukan gerejawi, istana, kastil, kota, biara, dan keuskupan disertai pendapatan yang sangat besar. Saudara dapat mengerti mengapa seorang sejarawan gereja menyebut periode kekuasaan Aleksander VI sebagai ”masa celaan besar dan skandal bagi Gereja Roma”.

Kisah sejarah yang diterjemahkan oleh Gus Toke melalui karyanya bila dihubungkan dengan setting kejadiannya sangat memiliki makna dramatik. Ekspresi visual yang ditempatkan melalui ikon dan symbol beserta graffiti serta kenaifan figur-figur yang hadir benar-benar satu adegan dan saya baca sebagai cara bertutur dalam squence.

Gus Toke memang terlihat melepaskan aspek kajian bercerita di karyanya, dan lebih menekankan pada subjek yang ia hadirkan. Inilah kejeniusan Gus Toke dalam mengkemas narasi dan memperluaskannya  menjadi simbolik, estetik dan semiotik. Penempatan tokoh dalam satu bingkai adegan dengan kaidah pencitraan secara visual dapat dilihat jelas. Kaisar Romawi, perempuan, tengkorak, kebuasan, salip, istana, pedang, garis tangan dan jiwa-jiwa yang melayang. Ini yang saya katakan sebagai ekspresi dramatik dalam satu squence. Gus Toke telah menyusun berbagai objek pendukung agar dapat menceritakan subjek “Borgia”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun