Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Apakah Pariwisata Kita Berpihak pada Seni Rupa Bali?

24 Juli 2016   22:48 Diperbarui: 25 Juli 2016   21:07 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pameran Fotografi Gustra di Bentara Budaya Bali

BALI. Bila berkunjung ke pulau yang popular sebagai destinasi pariwisata ini, singgahlah ke pasar seni, artshop, galeri, studio seniman, institusi seni dan museum, maka akan mudah untuk dijumpai karya-karya seni rupa dari perupa-perupa Bali maupun luar Bali.

Lalu pikirkanlah begitu banyak karya seni yang berkompetisi menjaring pasar. Bali sangat beruntung dengan pasar seni rupa yang dikaitkan dengan hadirnya wisatawan. Mereka memburu karya-karya perupa dengan beragam alasan, koleksi atau kenang-kenangan, dan sebagainya yang berkaitan dengan tanda sudah ke Bali.

Gejala “pasar” yang nyaman itu tak serta merta menjadi “identitas kuat” terhadap pariwisata, karena pariwisata hanya meng-koneksi atau memanfaatkan seni rupa. Lebih-lebih persaingan daya tarik, justru seni rupa hanya menjadi kebutuhan pariwisata. Artinya seni rupa belum menjadi atraksi yang didukung penuh oleh sektor pariwisata.

Event-event seni rupa hadir dan terselenggara dengan sendirinya. Tapi alih-alih mengharapkan pariwisata mendukung kegiatan seni rupa, apakah pemerintah pusat maupun daerah memahami secara benar bahwa seni rupa itu penting bagi dunia pariwisata? Kehadiran pelukis tersohor Belgia Le Mayeur yang mengharumkan Sanur, Bali dengan karya-karyanya sehingga banyak wisatawan datang ke Bali zaman tahun 30-an tidak pernah dikaji sampai perjalanan saat ini.

Pembukaan pameran Niti Bumi komunitas Niti Rupa di Bentara Budaya Bali
Pembukaan pameran Niti Bumi komunitas Niti Rupa di Bentara Budaya Bali
Melihat interaksi antar daya tarik pariwisata, anggaran promosi pusat dan daerah telah menambah beban miris bagi dunia seni rupa di Bali. Bertahun-tahun pariwisata hanya menunggu dan memanfaatkan event seni rupa, bukan berinisiatif menciptakan event, apalagi mengirim perupa sebagai identitas promosi ke mancanegara.

Beribu-ribu karya perupa Bali telah menyebar ke mancanegara, yang menunjukkan bahwa dunia sudah akrab dengan nama perupa dan karya seni rupa Bali.

Mungkin ada kesan aneh bila pariwisata kita baru sekarang mendekati seni rupa Bali. Tapi saya kira akan kelewat aneh bila pariwisata tidak pernah memikirkan perkembangan seni rupa, dan hanya membagus-baguskan keterangan destinasi di buku panduan yang ada nama seniman dan tidak pernah di-update.

Seni rupa memang “tidak pernah meminta-minta”. Tentu ada sesuatu bahwa instansi pariwisata dan pendukungnya selama ini hanya menunggu proposal kegiatan seni rupa. Mungkin sudah banyak, tapi hanya yang memiliki koneksitas atau diajak kerjasama yang cocok dan bisa diatur dengan keuntungan proyeknya.

Kini, dunia seni rupa tak yakin lagi ada dukungan negara atau daerah melalui sektor pariwisata, karena mungkin pengelola pariwisata setempat atau pemerintah pusat tak ada yang memahami seni rupa.

Seni Rupa Bali harus tetap punya wibawa untuk menghadapi situasi dari ketimpangan infrastrukturnya. Saya ingin mengingatkan bahwa Venesia, Basel, Hongkong , Miami, telah menjadi destinasi pariwisata karena event seni rupanya. Tentu tidak usah jauh-jauh, Jogjakarta sudah menampakkan geliatnya. (Yudha Bantono, Penulis Seni Rupa, tinggal di Denpasar, Bali).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun