Suasana nanpak berbeda kembali ketika melihat pada karya yang dikerjakan di atas tahun 2000-an. Pada dua karya dihadirkan, masing-masing terlihat memiliki karakter yang berbeda. Nuraeni sepertinya sedang memposisikan dirinya dengan karakter seperti yang ditanamkan Hendra Gunawan (Kuda Lumping, 2003). Sedangkan pada karya Pulang Mandi (2003) Â nampak ada pemutahiran style dan gagasan.
seni rupa tidak disuguhkan karya-karya terbaru Nuraeni. Ternyata saat pandemi covid 19 diakui bahwa dirinya memang tidak banyak melukis, serta baru kembali melukis setelah pandemi mulai reda. Belum lagi ditambah, karya-karya barunya yang telah terjual ke tangan kolektor.
Memang patut disayangkan publikSeni Sebagai Jalan Hidup
Bagaimanapun, Nuraeni bukanlah sosok pribadi, seniman sekaligus istri Hendra Gunawan "biasa". Perjalanan hidupnya sangat luar biasa. Terlahir dari keluarga terpandang ningrat, serba kecukupan yang melawan penjajah kolonial Belanda, lalu hidup berpindah-pindah, hingga turut terlibat dalam kegiatan seni di Pemuda Rakyat. Di organisasi ini rupanya berhasil mengantarkan dirinya sebagai pimpinan dan pelatih drumband terkenal. Bersamaan pada masa itu, ia juga menekuni seni peran drama. Ia sangat beruntung meskipun tamatan Sekolah Rakyat, melalui jalan kesenian dirinya telah diterima dan mampu bergaul dengan para intelektual setingkat mahasiswa di Bandung.
Peristiwa tragedi kemanusiaan 1965 tanpa ia pahami dan sadari ternyata telah merampas jiwa merdeka Nuraeni yang sedang berada di puncak kreativitasnya. Bagaimana tidak, ia harus menghentikan segala kegiatan berkesenian yang menjadi gairah hidupnya. Belum selesai sampai di situ, ternyata ia harus didakwa sebagai tahanan politik dan turut mendekam di Penjara Kebon Waru Bandung.
Di penjara Kebon Waru Bandung selanjutnya Nuraeni berjumpa kembali dengan Hedra Gunawan. Pertemuan mereka sebelumnya terjadi saat Apel Akbar Kembang Bereum, dimana Hendra Gunawan sebagai pemimpin upacara dan Nuraeni pemimpin drumband, menjadi bukan kebetulan.
Di Penjara Kebon Waru selama lima tahun Nuraeni mendapat kesempatan belajar melukis. Di dalam penjara, Hendra Gunawan memang memiliki studio melukis sekaligus tempat untuk menyimpan karya-karyanya. Nuraeni adalah satu dari sekian penghuni penjara yang ditawari untuk belajar melukis. Dari lima orang yang diberikan kesempatan ternyata hanya Nuraeni yang bertahan. Dia mampu mengikuti tahapan-tahapan belajar yang menurutnya tergolong sangat keras.
Nuraeni selanjutnya bukan hanya menjadi murid, namun juga menjadi asisten Hendra Gunawan dalam membantu menyediakan kebutuhan melukis, termasuk menyiapkan cat, alat lukis, membantu melukis dengan menyelesaikan ruang-ruang kosong dengan warna-warna sesuai petujuk Hendra Gunawan. Nuraeni juga dipuji oleh Hendra Gunawan disamping bakatnya yang tinggi, ia juga rajin dalam membersihkan alat lukis serta segala macam di studionya setelah kegiatan melukis usai.
Seperti diketahui, Nuraeni itu aktivis sekaligus seniman. Pada dirinya, hidup sebagai aktivis dan seniman adalah hal yang tak terpisahkan. Tahanan Kebon Waru sebagai tempat ia menempa kepandaian dan kepiawaian  bersama sang guru Hendra Gunawan adalah tempat ia memperoleh rasa seni dan keindahan. Meskipun pada kenyataannya rasa seni dan keindahan itu dibatasi oleh jeruji besi. Rutan Kebon Waru telah memberinya kekayaan ruang imajiner yang tak terbatas.
Sejak kecil tak ada orang yang menuntun dan mempengaruhi bagaimana Nuraeni menemukan kesenian sebagai jalan hidupnya. Sebagai anak pegawai pemerintahan, kemampuan menekuni berbagai kesenian itu datang dengan sendirinya, dan selalu ia tekuni meskipun berat pada awal mulanya, termasuk saat dirinya harus mengenal not balok ketika dilatih menjadi pelatih marching band di Magelang, atau belajar melukis mengenal warna dan teknik  bersama Hendra Gunawan.