Tiga tahun lalu, saya membaca secara bebas karya Grace Tjondronimpuno berjudul I Love You. Dilihat dari cara Grace bertutur saya sangat terkagum-kagum bagaimana ia menerjemahkan makna cinta bagi kedamaian. Seperti ada sesuatu kedekatan yang ia rasakan kala itu tentang konflik global, bahkan pada seri berikutnya ia menggarap isu radikalisme di Indonesia.
Memang, ia sendiri merasa harus ikut menyuarakan krisis yang diyakini bermula dari pudarnya spirit cinta kasih. "Saya terlalu risau dan geram, untuk mengontrol suasana batinku, saya harus berbicara melalui bahasa rupa," katanya. Ia hanya mampu menyuarakan melalui karya rupa seperti yang telah ia lakukan, "jika permasalahan itu kuanggap sangat dalam dan perlu disuarakan, maka saya berusaha menyampaikan secara dalam pula," katanya. "Untung, saya bisa mengeremnya dengan cara jenaka agar mudah dipahami, karena kritik saya ini harus disampaikan dalam komunikasi yang nyaman, itulah cara saya."
Grace dan Dedok adalah perupa lulusan ISI Jogjakarta yang selanjutnya menjadi pasangan hidup dan berkeluarga tinggal di Magelang, Jawa Tengah. Kedua perupa ini memliki pengalaman yang menghasilkan cara pandang tentang bahasa cinta secara universal.
Dari pengalaman berkarya kedua seniman ini telah saya ikuti sejak lama dan memang sesuatu yang istemewa. Bahkan lebih dari itu mereka sangat konsisten menyuarakan beragam dinamika sosial yang tengah terjadi di masyarakat.
Spontanitas dan tarikan muatan jenaka mereka akurkan dalam ide yang menonjol dan jelas akan ditangkap oleh publik yang menikmati atau membacanya. Tak sedikit muncul humor yang menambah bobot karya menjadi enak dilihat.
Bhinneka Tunggal Ika karya tiga dimensi Grace berisi tulisan pesan-pesan damai yang menjadi semangat kebersamaan, figur-figur masyarakat nusantara dengan pakaian adatnya sangat terasa menyuarakan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Huruf Indonesia yang ditarik dan diberdirikan oleh figur-figur masyarakat nusantara menyiratkan Indonesia harus dijaga bersama-sama. Lampu berwana yang berkelip melambangkan cahaya atau semangat kesatuan yang tak boleh padam.
Karya senada juga dihadirkan Grace. Menjaring Cinta di laut yang Sama, figur-figur dalam patung kecil di atas perahu menyuarakan pentingnya kebersamaan dalam keberbedaan dalam menuju masa depan Indonesia yang maju. Biarpun ombak dan badai harus dilalui, namun semangat kebersamaan harus disuarakan. Pada kedua karya Grace ini saya melihat bahwa usaha Grace secara sadar membangun ruang untuk mengajak publik penikmat karyanya lebih dekat telah berhasil ia lakukan.
Sedangkan Dedok lebih berbicara pada citraan tentang cinta. Pengungkapan respond terhadap konflik sosial ia bicarakan secara simbolisme yang tersamar. Hadirnya karya seperti Sound of Love dan Harmony saya lihat seperti menelaah ulang pesan-pesan bijak tentang cinta yang sejuk dan teduh kemudian berakhir pada kehidupan yang harmony.Â
Dalam karyanya Dedok masih seperti yang dulu ia membawa unsur-unsur alam, manusia dan spiritual dalam dinamika kultur kehidupan. Tentu ini tidak terlepas bahwa dirinya sebagai orang Bali yang sejak kecil sangat lekat dengan filosofi kehidupan Hindu Bali yakni Tri Hita Karana. Hubungan harmonis antara manusia dengan alam, sesama manusia dan Tuhan.
Mengikuti capaian karya Dedok dan Grace, I Gede Arya Sucitra (kurator pemeran) mengatakan baik karya Dedok dan Grace sangat kuat kemampuan artikulasi yang ilustratif (kartunal dan karikatural), namun tidak meninggalkan karakter goresan kuas yang dinamis, tekstural, warna yang riuh, meriah, cerah namun harmonis.
Bagi saya pameran Love Talk mengundang penyikapan yang kritis dan sedang sangat dibutuhkan di saat situasi tanah air mengahadapi tahun politik yang penuh gesekan. Pameran seni rupa memang mestinya tidak sekadar memajang karya yang indah, melainkan memajang gagasan maupun pesan yang berhubungan dengan situasi sosial kekinian. (Yudha Bantono, Bali 14.02.2019)