Tanpa dijelaskan, sebenarnya karya lukis cat air Achmad Pandi dapat menjelaskan dengan sendirinya. Dari hadirnya dua wanita Bali yang sedang menghanturkan sembah bekti kepada Sang Hyang Widhi sangatlah mudah diterka, apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Pandi lewat karyanya ini.
Pandi memang menyukai hal-hal sederhana yang ia jumpai secara intens. Meski pemandangan mebakti bagi sebagian masyarakat Bali adalah hal biasa, ia mencoba untuk bisa bercerita banyak tentang masyarakat Bali dengan spiritualitasnya kepada orang lain. Katanya, mebakti adalah ketulusan atau supra ikhlas dimana jiwa dan raga diserahkan pada sang pencipta saat itu. Pada alam logika pikiran Pandi, entah kenapa moment yang luar biasa ini menarik pikirannya pada ingatan leluhur, nun jauh dalam peradaban babad tanah jawa. Ia memiliki pembenaran bila ditarik pada dimensi peradaban budaya Jawa-Bali adalah satu magnet kuat dalam spiritualitas.
Dengan karya Mebakti, sedari mula saya mulai merasa bahwa Pandi memang tampak sedang bergulat dengan sebuah konsep seni rupa yang memiliki sensitivitas pada dimensi budaya, spiritualitas, toleransi, dan kedamaian. Maka, ketika Pameran Nasional ke-3 Komunitas Lukis Cat Air yang digelar di Grya Santrian Gallery, Sanur mengangkat tema Tat Twam Asi adalah bentuk dari caranya untuk mengatakan “kita” dalam suatu pencarian keharmonisan. Dan bentuk gagasanya adalah hal yang sering ia jumpai selama ini. Bagaimana ia sampai memiliki inspirasi untuk mengolah kehidupan tradisi dan spiritual masyarakat Bali menjadi pengikat kuat Tat Twam Asi itu?, ia tinggal di Kuta, sebuah kampung dengan hiruk pikuk para turis dari dunia gemerlap sampai dunia hitam, ia terkesan dengan tetangganya keluarga Bali yang memiliki tradisi dan spiritual, meski kehidupan modern telah mengepungnya, ia merasa ada kedekatan yang bisa menjelaskan makna aku dan engkau yang lebih dalam pada dimensi spiritual yaitu pada Tuhan.
Bagi Pandi, melalui karya Mebakti adalah cara berkeseniannya yang ingin kembali melihat dirinya sendiri, pulang pada ketentraman dan memahami esensi kehidupan dari hal yang sederhana. Kehadiran pengalaman hidup di salah satu lorong di Jalan Nakula, Kuta, Bali adalah lembaran yang mengintegrasikan cara pandangnya, mengalir menjadikan karya-karya yang sensitif terhadap kehidupan.
Pandi sangat percaya karya seni harus mengikuti proses penciptaan, bila ingin mengangkat sisi humaniora, maka seniman haruslah berada pada sisi realita dari yang ingin diungkapkan. Berkesenian itu bukan menampilkan kebohongan, lebih-lebih latah karena keinginan pasar. Terjebak dan hanya berbicara indah karena penguasaan teknis.
Pandi adalah pelukis otodidak dari Jember, Jawa Timur. Sejak kecil memiliki minat menggambar, bahkan seusia Sekolah Dasar telah mampu menggambar wajah-wajah dan tubuh yang sangat proporsional. Menguasai anatomi kemudian menuntun kariernya sebagai pelukis yang berbakat. Menyadari dirinya memiliki minat besar pada seni lukis, ia bertekad belajar sendiri. Dari beberapa seniman mengajarkan berbagai teknik, dan ia tertarik pada seluruh media, lukisan cat minyak, acrylic, pastel, dan cat air semuanya ia kuasai.
Pada karya Mebakti, bagaimana Pandi menaklukkan beberapa teknik konvensional dari cat air. Ia membuat rambut, kulit, pakaian, serta elemen pendukung lainnya secara detil. Ia sangat terlihat berhati-hati dalam penggarapan detil, menurutnya ia ingin mengungkapkan karyanya harus memiliki karakter kuat dari setiap bagian-bagiannya. Ia harus memperhitungkan cahaya, tekstur yang dihaluskan dengan cara menciptakan layer-layer warna.
Pandi sangat menyetujui, setiap seniman memang pada akhirnya dituntut meletakkan sisi estetis, karena itu di cat air pencarian estetisnya ia kembalikan pada peletakan di bagian-bagian detil tertentu, meski di bagian lain sebagiannya justru ia abaikan. Kain kebaya yang menjadi busana wanita, ia garap benar-benar seperti memindahkan helaian rajutan kain di atas kertas. Belum lagi, selendang, dan jarik batik, serta kacamata, cincin dan jam tangan yang menjadi pendukung karyanya.
Atas karya Mebakti Pandi, saya menyebut karyanya ini sebagai realisme yang merekam objek yang tidak jauh dari sekitarnya. Dan realisme Pandi tentu disertai pikiran dan perasaan, memahami keindahan dan juga dipahami maknanya. “Saya mulai menyentuh kenyataan itu dengan warna, memulangkan kembali pada warna, berbicara apa adanya”, tutur Pandi. (Yudha Bantono. Galungan, 2016. Kunjungan dan diskusi Pelukis Ahmad Pandi di kediaman penulis, Bali, 07.09.2016).