PEMIKIRAN sebuah ruang dibentuk oleh fungsinya secara umum, lalu difokuskan dan dikembangkan sesuai konteks yang telah, sedang atau akan terjadi. Apa yang terjadi ketika ruang pemikiran yang diolah sedemikian rupa menghadirkan persepsi baru?.
Ketika menerima kenyataan harus menjalani kehidupan keluar dari kampung halaman, sekaligus keluar dari strata sosial yang melekat, Gus Toke melukiskan betapa hidup itu tidaklah mudah. Dengan pengalaman kehidupannya serta mengingat kem”Bali” posisi dirinya saat ini, Gus Toke tampak sedang bergulat pada pertanyaan dengan menghadirkan ruang rupa yang membebaskan dirinya untuk berekspresi.
Memang ada kerentanan bila Gus Toke memerankan dirinya berlebihan, karena ia sendiri dimaknai sebagai dirinya dengan latar belakang yang melekat, termasuk kultur dimana pertanyaan itu berangkat. Dan Ia tidak perlu membawa simbol atau ikon-ikon kulturnya, karena dirinya sepenuhnya sudah mewakili apa yang ingin disampaikan. “Saya ingin menghadirkan diri saya seutuhnya, sebelum membahasakan orang lain, karena ini murni pemikiran saya, dan saya tampilkan apa adanya. Kalau ada yang menganggap ini sebuah kesengajaan, memang saya sengaja, dan sekali lagi saya ingin memvisualisasikan pemikiran saya”, kata Gus Toke.
Saya menyebut awalnya foto-foto diri Gus Toke seperti berformat masyarakat urban atau rekaman masa lalunya di Bali yang dieksotiskan. Namun kalau memperhatikan bagaimana Toke selalu meletakkan simbol-simbol ruang kehidupan, saya segera menyadari pokok permasalahan yang ingin dia sampaikan. Ada banyak pendekatan untuk membaca karya potret diri Gus Toke, akan tetapi pendekatan ideologis dan sosiokultural saya pikir dapat ditonjolkan. Karya Toke ini telah menuntun saya untuk menentukan bentuk dan arah kemana ia akan bicara. Cara berpakaian dan gaya berekspresi misalnya, dapat dikatakan mewakili ekspresi dari kelompok masyarakat dengan kondisi eksistensi, dan ini secara tidak langsung telah menggambarkan ideologis lapisan sosial masyarakat.
Sedangkan aspek sosiokultural lebih terlihat pada pengungkapan makna sosial dan kultural. Penggunan waktu, ruang dan objek lebih sebagai tanda menjadikan aspek visual yang merepresentasikan pemikiran akan gaya hidup. Pada pembacaan sosiokultural peran etnis, spiritual, agama, ekonomi, lingkungan dan teknologi sangat jelas ketika dilatarbelakangi objek berbau eropa. Ini seperti kontradiksi ideologi yang berhasil sebagai model relasi yang menyimpan konflik didalamnya.
“Nikmatnya Lollipop” , Toke ingin megungkapkan ideologi barat yang manis, dan harus ditelan habis-habis, sebuah pertanyaan yang sangat menarik dalam menakar dialog budaya barat-timur. “Listener”, di karya ini Toke, seperti larut hanya untuk menjadi pendengar yang baik. “Pohon Kehidupan”, di karya ini kembali Toke seperti mengejek kerusakan alam akibat eksoloitasi berlebihan, lengkap dengan baju bergaris yang mirip tahanan mencerminkan kejahatan. “Instinctive (Poor Dog), ada dua benda yang digantung yaitu tulang dan uang US Dollar, dimana Toke sedang memilih dan memakan tulang. Karya ini lebih menggambarkan pada kenyataan semestinya dalam sebuah pilihan, bukan tergiur oleh uang atau iming-iming investor. “Art bla-bla-bla”, dalam karya ini Toke sepertinya ingin mengkritisi peran seni rupa dengan seni sebagai keperluan perut dan cara pandang berkesenian.