Akhir-akhir ini, karya rupa Arka Dwipayana kerap dihubung-hubungkan dengan persoalan batu. Perupa kelahiran Karangasem, Bali Timur yang kini menetap di kampung kelahirannya Desa Ngis, di kaki Gunung Lempuyang, tak henti-hentinya mengeksplorasi batu-batu. Segeralah dapat saya pahami mengapa sebagian karyanya dikaitkan dengan batu-batu sebagai latar belakang berproses. Arka memang tak banyak bicara, ia memasuki wilayah keras, namun penuh kesunyian dan misteri.
Arka adalah salah satu perupa yang menekuni jalur abstrak sebagai bentuk pencapaian. Karya-karya Arka sangat dekat dengan pengalaman batin dan hatinya. Ia tidak memindahkan suasana batin, atau kembara jiwa menjadi karya, namun justru pencapaian kebebasan dari suasana batinlah yang menghantarkan ke dalam proses berkaryanya.
Sejumlah karya seri Stone dari tiga dimensi sesunggunya bisa dijadikan rujukan sebagai bentuk-bentuk eksplorasi usur rupanya. Dari eksplorasi itu ia hadirkan kembali menjadi bentuk-bentuk baru. Ada kencenderungan bahwa Arka memang melepaskan konteks pembacaan seperti pada karya-karya di atas kanvasnya. Pada eksplorasi unsur rupa di batu ia seperti menemukan jalan untuk mengikuti garis-garis, lekukan, celah maupun permukaan batu dari halus sampai kasar.
Rasanya saya bukan mempertimbangkan kembali, bahwa kekuatan karya Arka bukan terletak pada makna atau pesan yang hendak disampaikan. Karya Arka adalah rekaman hidup dirinya atas sensitivitas terhadap Bali, tanah kelahiran dan tempat tinggalnya. Keunggulan karyanya terjadi karena percakapan diantara ruang nyata dan tidak nyata. Itulah sebabnya karya Arka sangat terasa sebagai abstraksi hidup yang bebas bergerak mencari dan menemukan ruang dengan sendirinya.
Bila melihat pengkayaan warna dari karya stone serie Arka, maka jelas dari proses penciptaan ada yang berbeda. Sedangkan bila prosesnya dikaitkan dengan penggalian dunia bawah sadar sebagai sumber penciptaan, rasanya hal ini yang mempertemukan pandangan saya terhadap dua perupa ini. Sudah jelas kiranya seperti Ni Tanjung, Arka tidak ingin berjarak dari kesadaran kulturalnya. Batu-batu dapat diduga sebagai tempat dan kekuatan kepercayaan Hindu Bali yang telah ada sebelum dirinya dilahirkan, dan sosok rupa manusia atau abstraksi figur-figur itu tidak lain adalah kehadiran para leluhur.
Bagaimanapun, penilaian terhadap karya “Stone” sangat membuka pemikiran saya tentang perkembangan seni rupa kontemporer Bali yang hingga kini masih banyak terpukau pada permasalahan estetika, serta pengaruh-pengaruh selera pasar sehingga menjauhkan diri dari kesan sensitivitas ke”Bali”annya. Maka tidaklah berlebihan, bila saya menyebut Arka adalah salah satu dari sedikit perupa Bali yang karya-karyanya masih memungkinkan untuk diperbincangkan kembali, bahwa seni rupa kontemporer yang memiliki identitas Bali semestinya memang berangkat dan berakar dari “Bali”.
Yudha Bantono, Art writer tinggal di Denpasar Bali.