AWAL Juni tepatnya 3 Juni selama delapan hari ke depannya, di Bentara Budaya Bali, Denpasar digelar pameran seni rupa Nitibumi oleh Komunitas Nitirupa. Pameran yang dikuratori W. Seriyoga Parta ini manyajikan karya 12 perupa yakni Wayan Redika, Made Wiradana, Loka Suara, Made Supena, Teja Astawa, Imam Nurofiq, Galung Wiratmaja, Nyoman Sujana Kenyem, Made Gunawan, Uuk Paramahita, Bambang Putu Juliarta dan Pande Alit Wijaya Suta.
Pameran Nitibumi menarik untuk dicermati sebagai upaya perupa Nitirupa memilih cara pandang mengkritisi bumi dengan bahasa rupa. Karya-karya yang ditampilkan terlihat memiliki pembacaan pada wilayah konflik maupun jalan damai melihat sebuah harapan bagi bumi. Sebuah jalan yang ditempuh para perupa Nitirupa yang memilih cara mengeksekusi bumi memang tidak menunjukkan reaksional yang berlebihan bila dilihat pada persoalan kondisi bumi saat ini. Bumi yang mengalami degradasi kualitas akibat persoalan lingkungan secara global hanya dibaca oleh sebagian seniman.
Sebuah pertanyaan penting yang dapat diajukan dalam pameran Nitibumi yaitu manakala pameran yang mengusung “bumi” sebagai pijakan gagasan besar terhadap peran seni rupa sebagai bagian kesadaran, mestinya karya-karya yang menunjukkan ekspresi visual lebih berani muncul daripada ekspresi estetis. Seriyoga Parta menginterpretasi tema yang diusung Nitibumi berlatarkan pada refleksi atas kondisi bumi tempat manusia dan berbagai entitas kehidupan bersandar tubuh dan dinamika. Menurutnya persoalan alam berupa kerusakan dan bencana juga tidak bisa dilepaskan dari ulah serta prilaku, ambisi dan keserakahan manusia, menjadi pertanyaan yang bersifat subjectif dari para perupa. Singkatnya menurut Yoga konteks pameran Nitibumi yaitu menerjemahkan kegelisahan mereka terhadap alam dan lingkungan.
Wayan Redika menghadirkan karya hasil pengamatannya secara langsung terhadap daerah galian pasir di desa Butus, Karangasem. Karya Redika seperti mengajak pengunjung pameran untuk mengetahui proyek penambangan pasir di Bali yang memiliki dampak terhadap daya dukung lingkungan. Redika sangat paham benar apa yang menjadi ikon penting dari proyek penambangan pasir yaitu hadirnya alat-alat berat yang berdialog dengan pasir dan batu-batu. Karya yang berjudul Butus 79-93 ini mengisyaratkan bumi sebagai medium kehidupan paling penting, bila eksploitasi berlebihan dan keserakahan yang terus memuncak sama kiranya meminang kehancuran kehidupan masa depan.
Made Wiradana dengan karya yang berjudul Illegal loging, mengkritisi penebangan dan pembakaran hutan secara illegal yang berdampak besar bagi ekosistem. Karya Wiradana yang menghadirkan orang-orang berbanyak yang hendak memotong pohon besar. Illegal loging sepertinya diibaratkan sebuah pesta atau perayaan oleh perupanya, sehingga kesan illegal loging yang ingin ditunjukkan oleh Wiradana belum terasa untuk dapat dilihat secara dampak. Tentu kembali pada medan pembacaan apakah illegal Logging sudah menjadi pesta pora para penjarah kayu-kayu di hutan, menjadi pertanyaan dari karya ini.
Made Supena, masih seperti yang dulu-dulu ketika melihat karya Supena, abstaraksi alam dan jagad raya menjadi ruang imaji dalam menciptakan karyanya. Supena sangat konsisten memainkan warna-warna alam untuk menerjemahkan apa yang ingin disampaikan. Karya Meruwat Bumi adalah sebuah upaya Supena untuk menjaga dan mengawal bumi agar terhindar dari kerusakan dan menimbulkan bencana. Seperti laku ritual budaya “ruwatan” menjadi pengingat untuk menempatkan bumi yang harmonis.
Loka Suara dengan karya yang berjudul Ritus Bumi Sudda ia ingin membicarakan harmonisasi antara niskala dan sekala. Nampak jelas Loka sebagai perupa Bali membawa pemikiran tradisi budayanya dalam menerjemahkan kelestarian bumi. Pada karya Loka tidak nampak kehijauan sebagai symbol dari warna lestari, empat tanaman yang merepresentasikan pohon yang baru tumbuh dan kura-kura yang berada dalam sangkar serta satu figur dengan pandangan ke depan memegang bibit tanaman mencerminkan bahwa Loka berangkat dari kehancuran bumi, sehingga perlu diritus untuk lestari.
Karya Green Dictionary Imam Nurofiq sangat menarik untuk dibaca berkaitan dengan pengungkapan manusia sebagai periode histori kerusakan lingkungan hidup. Karya ini hadir bukan sebagai rujukan untuk menerjemahkan hal-hal yang berkaitan dengan “hijau” atau lestari saja. Dengan menampilkan figur-figur dalam karyanya ia seolah melingkupi pemikiran dan konsep-konsep pandangannya tentang sosok sebenarnya yang menjadi subject matter dari kerusakan lingkungan. Membaca karya Imam seperti ingin mengetahui peran yang dimainkan dari tiga figure dan tiga peristiwa yang masing-masing mewakili karakaternya sebagai subject matter penyebab bencana bagi bumi.
Di samping karya lukis Imam Nurofiq juga menghadirkan karya instalasi yang dinstal di tengah-tengah ruang pameran. Karya yang berjudul Bali Map seperti ingin menegaskan atas alih fungsi lahan di Bali yang terus merubah wajah bumi Bali dari perkembangan dan kemajuannya.
Galung Wiratmaja, dengan karya Kita…??? Sangat jelas mengusung sebuah pertanyaan. Karya Galung seperti merekam pengalaman bersama perupa kelompoknya yaitu Niti Rupa. Kita yang direpresentasikan dalam peserta pameran dapat dibaca sebagai bagian dari proses ingin berbuat yang terbaik bagi bumi. Karya ini kiranya menjadi pertanyaan ke dalam bagi Niti Rupa terhadap apa yang telah dilaksanakan dalam project seni rupa penyadaran terhadap penyelamatan bumi.