Apalagi kalau ada teman seperjalanan yang seru atau mudik berombongan dengan teman kuliah sekota asal. Sampah, bau, deru debu, toilet jorok terabaikan dengan keseruan kami bercanda tawa.
Meskipun tetap saja tissue di tangan memekat tiap kali dipakai menyeka keringat. Dan tetap saja, saya lebih suka menahan pipis meski sambil meringis.
Untuk meminimalisasi ketidaknyamanan, biasanya saya memilih jadwal keberangkatan yang paling awal. Jam 5 pagi. Relatif masih sepi dan longgar.
Tapi ya itu, seringkali teman segerbong adalah para pedagang, termasuk pedagang ayam dengan ayam-ayam hidup yang diikat kakinya. Kotek..kotek...kotek...
Lalu tibalah era-nya pak Jonan. Gebrakan pertama beliau adalah memperbaiki kondisi toilet di stasiun kereta api dan tentu saja di gerbong kereta.
Saya curiga, diam-diam sebenarnya pak Jonan tahu kalau ada yang suka nahan pipis di kereta, makanya hal pertama yang beliau perbaiki adalah kondisi toilet.
Untung tidak berhenti di toilet, perbaikannya merambah ke berbagai lini. Kebersihan gerbong, pengaturan tiket yang tersistem dengan baik sehingga penumpang tidak tumpang tindih memenuhi lorong dan dipastikan mendapat tempat duduk, tidak ketinggalan penertiban pedagang asongan.
Yang lebih penting lagi, sekarang ada AC. Wajah tak lagi legam, bedak tak lagi luntur oleh keringat, rambut tak lagi mengembang berantakan diterpa angin jendela, dan tshirt putih pun tak lagi jadi abu-abu.
Tentu saja ada banyak hal lain lagi yang di reformasi di tubuh kereta api, sehingga kereta api Indonesia bisa senyaman dan semanusiawi sekarang.
Tapi justru gara-gara gebrakan reformasi Pak Jonan inilah putri saya meragukan kejujuran saya.Â
Jadi, waktu saya cerita kondisi kereta api jaman saya muda dulu, ia tidak percaya sama sekali. Mungkin dia tidak bisa membayangkan ada kereta api yang bisa sebrutal itu kondisinya.