Paling kurang ada 7 (tujuh) alasan Megawati Soekarnoputri maju sebagai capres 2014. Kurang dari dua bulan pemilu legislatif 9 April 2014, sebagai syarat untuk merebut suara pemilih dan kursi di DPR dan mampu mengajukan calon presiden, PDIP dihadapkan pada dilemma dan akhirnya terjerembab ke dalam kekonyolan politik. Kekonyolan tersebut adalah disingkirkannya Jokowi dari pencalonan sebagai presiden, dan sekaligus menempatkan Megawati sebagai calon presiden PDIP, dengan memanfaatkan Jokowi yang popular dengan elektabilitas tinggi, sebagai vote getter. Jokowi akan dijadikan alat untuk menarik suara. Lalu apa penyebab Megawati nekat maju lagi sebagai capres untuk ketiga kalinya tersebut?
Pertama, tampaknya Megawati sedang terkena post-power syndrome akut selepas 2004 dikalahkan secara telak oleh SBY. Pembalasan dendam tahun 2009 juga gagal. Makin membara rasa dendam untuk memenuhi nafsu menjadi presiden beneran selama 5 tahun. Nah, setelah SBY tak bisa maju lagi, kecuali sebagai calon wakil presiden, maka Megawati menilai ini kesempatan emas untuk merebut kursi kepresidenan.
Kedua, trah Soekarno dan Megawati tak mampu menemukan figur yang cukup kuat untuk maju sebagai calon presiden. Puan Maharani atau pun anak lelaki Megawati yang namanya saya lupa itu pun tak memiliki kualitas yang mumpuni sebagai calon presiden - bahkan wakil presiden pun tak layak. Sedangkan kelangsungan PDIP harus berada di tangan keluarga Bung Karno. Dan, untuk memertahankan tradisi politik dinasti, maka hanya Mega yang dapat diharapkan mampu menjadi contender paling kuat melawan Aburizal Bakrie dan calon lainnya.
Ketiga, jika mencalonkan Jokowi sebagai calon presiden PDIP, maka diyakini Jokowi sebagai presiden, akan menguatkan hegemoni Jokowi di lingkungan partai PDIP. Hal ini sangat tidak disukai oleh anasir dan faksi-faksi di dalam PDIP yang selama ini nyaman berada di ketiak kediktatoran Megawati Soekarnoputri. Aneka kebijakan partai mampu dikendalikan dan memenuhi kepentingan para pentolan faksi di dalam tubuh PDIP. Megawati berhasil membagi kue kenyamanan para kader dan pengurus partai. Kondisi pergeseran kekuasaan dari keluarga Bung Karno ke Jokowi akan membuat peta politik dan dinasti kekuasaan partai berubah selamanya.
Keempat, dengan PDIP menyingkirkan Jokowi, maka itu merupakan kemenangan faksi dalam PDIP yang tak menghendaki PDIP berkuasa. Di dalam PDIP selama ini ada pihak-pihak yang sengaja merusak PDIP dari dalam. Contohnya, Tjahjo Kumolo menyampaikan teori absurd berupa, paket kalau bukan Mega-Jokowi ya Jokowi-Mega. Ini scenario orang keblinger. Dan PDIP - juga Megawati - menelan mentah-mentah teori ‘berdiri di dua tempat dengan satu kaki' ala Tjahjo Kumolo. Megawati dan PDIP dijerumuskan oleh para pentolan PDIP dari dalam.
Kelima, taktik menunda-nunda pencalonan dan tidak pencalonan Jokowi atau Megawati, merupakan tindakan bunuh diri politik yang merupakan skenario jahat dari dalam faksi perusak di internal PDIP. Digantungnya pencalonan Jokowi dan PDIP, yang diharapkan menarik perhatian pemilih dan elektabilitas Megawati dan PDIP, justru akan menyulitkan para caleg PDIP. Popularitas Jokowi yang sejatinya mampu mendongkrak perolehan suara dan kursi di DPR tak dimanfaatkan oleh PDIP.
Keenam, ketakutan absurd PDIP pada pencalonan Jokowi. Persoalan dan taktik melindungi Jokowi agar tak diserang oleh yang anti Jokowi dan Ahok, terkait kampanye hitam yang menolak Ahok manjadi Gubernur DKI jika Jokowi maju dan menjadi presiden adalah alasan orang takut tantangan dan meremehkan kecerdasan publik. Masyarakat tidak bodoh dan tak peduli dengan latar belakang pemimpin. Faktanya, Hidayat Nur Wahid dalam Pilgub DKI keok melawan Jokowi-Ahok meski kampanye hitam dan primordialisme serangan diarahkan kepada Jokowi-Ahok.
Masyarakat lebih memilih seorang Ahok dan Hary Tanoe yang memiliki kinerja daripada koruptor semacam misalnya ustadzah Luthfi Hasan Ishaaq yang munafik kelas atas dengan muka pura-pura beragama namun musang berbulu anjing. Jadi alasan melindungi Jokowi adalah alasan yang tak masuk akal dan akal-akalan yang menjebak PDIP. Dalam politik, langkah melawan berita dan opini adalah tantangan. Kalau takut melawan opini mending bubarkan partai saja.
Ketujuh, PDIP dirasuki oleh faksi yang sebenarnya berseberangan dengan kepentingan PDIP. Unsur ini kental tampak dalam berbagai maneuver kebijakan PDIP (baca: Megawati) yang tak sejalan dengan logika politik dan logika umum.
Contohnya, hasil survei yang menyebutkan jika Jokowi dicapreskan maka PDIP akan meraup suara besar, dipatahkan dengan wacana Mega-Jokowi. Padahal, jika orientasi partai adalah kemenangan pileg, maka logika orang bodoh sekalipun akan memasang Jokowi sebagai capres jauh-jauh hari sebagai upaya memperkenalkan diri.
Sama dengan taktik SBY yang jauh-jauh hari mencitrakan diri sebagai capres dan berhasil, meski setelah menjadi presiden melempem. Nah, PDIP tak mengambil kesempatan dan malah membunuh kesempatan untuk menang pemilu legislative dan pemilu presiden.