Menjadi seorang guru besar adalah salah satu cita-cita luhur seorang dosen. Seorang guru besar mengabdi kepada Negara Indonesia dalam bidang pendidikan dengan kontribusi keilmuannya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang maju. Menjadi seorang profesor dengan jabatan akademik sebagai guru besar tentu tidak dapat dicapai dengan mudah. Seorang profesor harus telah menunjukkan kontribusinya yang besar bagi Indonesia dalam tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Pengalaman mengajar selama 10 tahun, memenuhi syarat angka kredit kumulatif minimal, menulis karya ilmiah sebagai penulis pertama pada jurnal internasional bereputasi, serta memperoleh hibah penelitian adalah beberapa persyaratan untuk bisa mengajukan kenaikan jabatan menjadi guru besar.
Akan tetapi akhir-akhir ini beberapa isu yang cukup mengganggu terkait gelar guru besar ini mencuat tidak hanya di kalangan akademisi, tetapi juga di kalangan masyarakat. Beberapa bulan yang lalu, dunia akademik dikagetkan dengan kabar bahwa gelar guru besar dapat diraih dalam usia 38 tahun. Yang menjadi isu adalah bahwa dosen tersebut tercatat memiliki tak kurang dari 150 artikel yang dipublikasikan dalam rentang Januari hingga Oktober 2024 yang berarti rata-rata mempublikasi satu jurnal dalam dua hari. Â Tentu ini menjadi tanda tanya besar tidak hanya bagi kalangan akademisi, tetapi juga masyarakat luas. Bagaimana dosen tersebut dapat mengatur waktu, menulis, mengedit, serta mereview tulisannya dalam waktu yang sangat singkat. Diduga bahwa dosen tersebut mempublikasikan tulisannya pada jurnal predator atau jurnal yang tidak melalui proses peer-review yang ketat. Publik mungkin ada yang bertanya, apa maksud dosen tersebut menulis begitu banyak dalam waktu kurang dari tahun? Apakah karya tulisnya tersebut dapat dijamin kualitasnya?
Masalah terkait gelar guru besar ini pun juga muncul dikala sebelas guru besar di salah satu universitas di Kalimantan diperiksa oleh tim investigasi Kementrian Pendidikan Kebudayaan, Risert dan Teknologi terkait dugaan menyalahi proses permohonan guru besar, dimana salah satunya dengan mengeluarkan sejumlah uang yang cukup besar untuk memperoleh artikel yang terbit di jurnal predator. Seperti yang disampaikan dalam investigasi Majalah Tempo pada 8 September 2024, bahwa diduga ada permainan antara pemohon jabatan guru besar dan asesor di Kemendikti agar memudahkan proses pengajuan guru besarnya. Dampak dari masalah ini adalah terseretnya 20 guru besar lain pada universitas tersebut dalam investigasi lanjutan oleh Kementrian Pendidikan Kebudayaan, Risert dan Teknologi. Selain itu status akreditas kampus tersebut pun mengalami penurunan dari awalnya terakreditasi A menjadi Baik. Ini berimplikasi kepada lulusan dan calon lulusan mahasiswanya yang khawatir akan kesulitan dalam meraih pekerjaan. Lagi-lagi integritas para dosen-dosen tersebut dipertanyakan. Apa yang dicari sebenarnya dengan melakukan hal-hal yang melanggar integritas akademik?
Isu ketiga adalah pejabat publik yang mengajukan permohonan menjadi guru besar padahal beberapa persyaratannya belum memenuhi. Dalam investigasi tim Tempo terkait hal ini, terdapat beberapa kejanggalan dalam proses pengajuan guru besarnya mulai dari karya tulis yang berasal dari jurnal predator, artikel yang tidak terlacak secara konsisten, hingga pengalaman mengajar yang kurang. Bagaimana mungkin seorang pimpinan suatu lembaga negara yang sudah sangat sibuk dapat menjadi seorang dosen full time di kampusnya. Tentu ini menjadi pertanyaan yang bergulir di masyarakat. Apa yang dicari bagi seorang politisi dengan meraih gelar guru besar? Sepertinya untuk mengejar tunjangan jabatan tidak menjadi alasan. Ataukah mereka sedang mencari pengakuan dari masyarakat dan kalangan politisi untuk menunjukkan bahwa mereka adalah seorang yang harus didengar dan dihormati dengan gelarnya?
Mayoritas dosen pasti menginginkan dan merencanakan untuk menjadi seorang guru besar. Akan tetapi alangkah elegannya jika proses menuju cita-cita tersebut dilaluinya dengan penuh integritas. Tujuan menjadi guru besar harus bersumber dari tujuan yang lebih besar yaitu memberikan pelayanan dan pengabdian kepada Negara Indonesia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Perlu usaha dan monitor secara bersama-sama dari berbagai pihak, seperti Kementrian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi, para universitas, serta dosen itu sendiri. Bisa jadi sumber permasalahannya sangat kompleks, tetapi ini bisa dimulai dari setiap dosen dengan berkaca pada dirinya, apa sebenarnya yang ingin dicapai ketika sudah mendapat gelar seorang guru besar? Apakah tujuan tersebut adalah sebagai bentuk pengabdian dan pelayanan ataukah hanya untuk pengakuan dan sekedar tunjangan? Hanya masing-masing dosen dan Tuhan yang tahu apa sebenarnya tujuan menjadi Guru Besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H