Mohon tunggu...
oranggunung
oranggunung Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Waisak dan Euforia Lampion Borobudur

22 Mei 2016   08:01 Diperbarui: 22 Mei 2016   09:29 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat hari Tri Suci Waisak 2560 Buddhis Era bagi seluruh umat Buddhis seluruh Indonesia. 

Hari Waisak identik dengan : umat Buddhis, vihara, flight to Jogja penuh dan mahal, jalan Jogja-Magelang agak padat, dan Borobudur ruame pol. Setiap tahun selalu ada perayaan Waisak di Candi Buddhis terbesar di dunia, yang bangganya ternyata berdiri di tanah Jawa, Indonesia. Tahun ini ada 15000 pengunjung baik lokal maupun internasional, memadati Borobudur untuk turut ikut (karena banyak pengunjung non Buddhis) merayakan acara Waisak. Apa yang spesial? Apa lagi kalau bukan pelepasan 5000 lampion di malam hari. 

(Melalui tulisan ini, saya tidak lantas menuduh umat lain ikut merayakan, bisa saja motivasi mereka hanya liputan atau pas lewat depan Borobudur lantas mampir, namun karena bertepatan pada momen hari Waisak, maka saya rasa tidak ada salahnya saya generalisasi dengan "turut ikut")

Perayaan Waisak menjadi komoditi wisata setiap tahunnya karena acara pelepasan lampion ini. Tahun ini, karena penulis tidak sempat dan sedang tidak mampu membeli tiket untuk terbang ke sana, jadi merasakan gemanya hanya melalui liputan berita dan posting social media. Yang saya dengar dari radio El Shinta kemarin petang (acara sudah di mulai sejak Sabtu 21/5 mengingat detik-detik Waisak tahun ini jatuh pada pukul 4 : 14 : 16 pagi 22/5) bahwa untuk acara Dhammasanti yang diizinkan masuk hanyalah mereka yang memiliki identitas sebagai umat Buddhis. 

Mengapa perlu dicek identitas segala? Sangat disayangkan, hari raya sakral bagi umat Buddhis ini acap kali cukup terusik oleh hadirnya turis yang motivasinya adalah menyaksikan si lampion terbang. Seperti keos yang terjadi di tahun 2013, banyak fotografer (tidak semua lho!) dengan kamera yang mancungnya seperti teropong bintang, sangat khusyuk memotret Bhikkhu/ni yang sedang ritual tanpa memikirkan bahwa mereka sedang dalam prosesi keagamaan.  Tidak tanggung-tanggung, moncong kameranya hanya berjarak 5-10 cm dari objek. Belum lagi pemandangan hot pants, tanktop, rangkul dan peluk mesra sambil melihat purnama, lalu suara-suara sumbang turis yang meledek pembacaan syair paritta Buddha yang kedengarannya lucu dan tidak biasa di telinga mereka. Lucu yah? hehehe 

Penerbangan 5000 lampion itu memang membuat bulu kuduk berdiri, karena suasana sakral, pemandangan indah (secara di bawah bulan purnama, kalau tidak hujan ) dan romantis (bagi turis-turis alay) bercampur jadi satu. Suasana inilah yang rasanya diburu oleh turis maupun umat. Saya tidak memungkiri, di antara umat Buddhis sendiri juga pasti ada yang jauh-jauh ke Borobudur (bersama pacar) untuk melihat lampion ini. Senjata yang wajib dibawa : telepon pintar untuk check-in di Path atau post di Instagram agar semua dunia tahu kamu sedang berada di Borobudur dan sedang menerbangkan lampion. Jadi antara ingin eksis dan spiritualitas hanya dibatasi kertas minyak hehehe. Saya tidak menggeneralisasi, namun apa daya pikiran ini berkesimpulan demikian setelah 70% dari teman-teman di medsos yang hadir di sana berlaku demikian. 

Sehingga tidak salah rasanya kalau saya yang waktu itu (2003) sebagai pengunjung dan kali ini sebagai pengamat merasakan dualisme tujuan dari berkunjungnya mereka ke Borobudur. Tidak ada konotasi negatif dari pernyataan ini karena apapun motivasinya hanya masing-masing yang tahu, dan terimakasih sudah hadir dan menjaga kesakralan dari sebuah perayaan keagamaan.

Bagaimanapun, sisi lain dari fenomena lampion ini adalah bahwa hari Waisak dapat menyatukan pengunjung yang berbeda-beda keyakinan. Untuk satu hari kemarin dan dini hari, tercipta toleransi dan saling menghormati perbedaan keyakinan di tengah-tengah maraknya isu SARA yang belakangan berkembang (entah dikembangkan atau berkembang sendiri). Semoga keadaan hormat-menghormati ini dapat terus berlangsung.

Perayaan Waisak tahun ini bertemakan : 'Spritualitas Waisak Menumbuh Kembangkan Bodhicita Semua Makhluk' yang berarti spritualitas untuk membangun bangsa, sehingga semua makhluk bisa hidup berdampingan.

Selamat hari Waisak. Semoga semua mahkluk selalu berbahagia dan semoga Indonesia segera dibebaskan dari isu-isu murahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun