Suka atau tidak suka, agama ternyata berwajah ganda. Di satu sisi, agama berwajah rohani. Agama adalah entitas rohani. Agama yang berwajah rohani bertautan erat dengan dunia yang ilahi. Sebagai institusi mandiri, tidak ada topik dan bahasan lain kecuali dimensi keilahian. Di sisi lain, agama juga berwajah sosial. Agama memiliki kehidupan sosial yang mau tidak mau berinteraksi dengan institusi di luar dirinya, salah satunya adalah negara.
Selalu menarik ketika berbicara mengenai pertemuan agama sebagai institusi mandiri dengan institusi lain, misalnya negara. Dalam perbincangan agama-negara, ada sekiaan banyak topik yang bisa dibahas. Pada kesempatan ini, saya tertarik untuk menulis tentang posisi agama dalam negara.
Gagasan pertama yang sering muncul dalam perbincangan posisi agama dalam negara adalah agama akan menjadi kuat jika masuk atau menjadi bagian dari kekuasaan atau negara. Dengan menjadi bagian takterpisahkan dari agama, entitas kerohanian itu akan mampu mewarnai dan meresapi seluruh kehidupan bernegara. Bentuk-bentuknya bisa beraneka ragam. Salah satu bentuk yang bisa terlihat kentara adalah hukum yang ada dalam agama digunakan sebagai hukum yang mengatur kehidupan bernegara.
Tentu, pemahaman semacam ini tidak mudah untuk diwujudkan secara nyata. Dalam sebuah negara yang majemuk, tidak mudah menentukan agama mana yang disepakati menjadi sumber utama kehidupan bernegara. Apakah agama mayoritas yang dipakai sebagai sumber utama dan berlaku untuk semua? Jika ya, dimanakah agama lain hendak diletakkan?
Gagasan kedua adalah agama akan menjadi kuat jika mengambil jarak atas negara. Seturut pandangan ini, agama dipandang kuat sebab agama tidak terikat oleh aneka kepentingan kekuasaan atau negara. Agama mampu tampil dengan kewibawaannya yang independen. Di sisi lain, agama akan mampu menyuarakan kebenaran ilahi yang diyakininya. Agama tampil melulu sebagai institusi mandiri.
Sejarah telah mencatat bahwa kekuasaan mampu membelokkan kemurnian keagamaan. Kita bisa membaca sejarah tentang seorang tokoh bernama Carl Marx. Carl Marx memberikan kritikan pedas berkaitan dengan keberadaan agama yang digunakan untuk meninabobokan masyarakat dengan janji-janji surgawinya. Agama yang semestinya mampu membuka mata manusia atas realitas yang ada justru digunakan untuk membius masyarakat atas ketidakadilan dan penindasan. Agama menjadi candu. Ayat-ayat Kitab Suci diambil sekenanya untuk mendukung perilaku negara yang menyimpang. Jika sudah demikian, masyarakat hanya bisa mengangguk atau bahkan bersorak kegirangan karena mendapat janji surgawi berdasarkan sesuatu yang mereka yakini.
Hal ini terjadi karena agama telah diintervensi oleh kepentingan-kepentingan di luar dirinya. Intervensi yang diterima oleh agama bisa terwujud dalam aneka bentuk. Yang terutama adalah kepentingan politik dan ekonomi. Misalnya, ketika ada pemilihan seorang pemimpin apa yang pertama-tama dijual untuk menarik perhatian publik? Atau apa yang digunakan untuk menyerang calon lainnya? Diakui atau tidak, agama sering menjadi bahan untuk menarik publik sekaligus bisa menjadi senjata yang mematikan. Ketika pemimpin jatuh dalam persoalan, apa yang akan dibahas oleh masyarakat?
Dalam konteks seperti ini agama sebagai entitas rohani telah terkontaminasi dengan berbagai kepentingan dari institusi lain. Belum lagi ketika ada persoalan dengan figur pemimpin politik. Tidak jarang penindasan, pembunuhan, perzinahan, korupsi, dan perampasan milik orang yang lemah mewarnai perilaku pemimpin politik. Untuk menutupinya perilaku negatif seperti itu, digunakanlah ayat-ayat suci. Lalu, persoalan menghilang tanpa bekas. Agama bisa diperalat menjadi senjata justifikasi dan legitimasi atas politik dan kekuasaan. Agama menjadi benteng yang ampuh atas status quo. Keadaan bisa menjadi semakin parah lagi ketika agenda negara juga menjadi agenda agama.
Jika sudah demikian, agama akan kehilangan otonominya. Agama menjadi hambar karena kehilangan daya kritiknya sebab keterikatan agama dengan negara telah memasung daya kritis agama. Sifat dan fungsi profetik agama menjadi lembek. Ketika fungsi ini akan dijalankan, pada akhirnya agama akan bertemu dengan dirinya sendiri yang telah dikuasai oleh negara. Jika sudah demikian, hanya akan terjadi konflik kepentingan. Hasilnya bisa ditebak: kepentingan kekuasaan menjadi lebih dominan ketimbang prioritas nilai substansial agamawi.
Selalu ada tarik ulur ketika menempatkan agama-negara atau negara-agama. Selalu ada sisi-sisi yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Tentu sebuah diskusi dengan kepala dingin dan cara pandang yang lebih luas. Terlebih, jika pemikiran agama-negara ini ditempatkan dalam konteks bangsa Indonesia yang plural. Cita-cita idealnya adalah tidak adanya kelas-kelas warga negara semata-mata berdasarkan agama. Sekali negara jatuh pada kelas-kelas berdasarkan agama, hegemonitas atas agama yang satu atas agama lain akan muncul dalam kehidupan bernegara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H